Burung hantu yang satu ini lebih dikenal dengan nama Serak Jawa (Tyto alba) atau dikenali sebagai burung hantu putih yang memiliki ukuran yang dewasa ± 34cm. Wajahnya berbentuk jantung dengan warna putih dan tepiannya coklat. Ciri lain adalah matanya menghadap kedepan, bulu lembut, berwarna tersamar, bagian atas berwarna kelabu terang dengan sejumlah garis gelap dan bercak pucat tersebar pada bulu, juga tanda mengkilat pada sayap dan punggung.
Bagian bawah berwarna putih dengan sedikit bercak hitam, atau tidak ada. Bulu pada kaki jarang-jarang. Kepala besar, kekar dan membulat. Iris mata berwana hitam. Paruh tajam, menghadap kebawah, warna keputihan. Kaki warna putih kekuningan sampai kecoklatan. Jantan-betina hampir sama dalam ukuran dan warna meski betina seringkali lebih besar 25%. Betina dan hewan muda umumnya punya bercak lebih rapat.
Adalah Pusat Pengembangan Agens Hayati (PPAH) Kab. Ngawi, Divisi Burung Hantu (Tyto alba) yang pertama kali melakukan pengembangbiakan burung hantu ini di Desa Giriharjo sebagai pembasmi alami hama tikus di desa yang memiliki ketinggian sekitar 450 mdpl tersebut. PPAH sendiri beralamat di Dk. Munggur RT 01 RW 02, Desa Giriharjo Kec. Ngrambe, Kab. Ngawi dengan nomor telepon (0351) 611181. Dari desa ini pula berawal penggunaan pagupon sebagai tempat / rumah bagi Tyto alba. Awalnya pada desa ini hanya ada 2 (dua) pagupon saja didirikan pada tahun 1996 di areal persawahan. Untuk mengisi pagupon tersebut diambil burung hantu yang bersarang di sekolah-sekolah, jembatan, atau pohon-pohon di sekitar desa. Dengan memindahkan anakan Tyto alba maka indukan akan ikut serta pindah ke pagupon yang telah disiapkan tersebut. Setiap pagupon diisi dengan sepasang burung hantu. Dari hasil yang telah dirasakan di desa Giriharjo, maka penyebaran pembangunan pagupon secara pelan tetapi pasti mulai meluas keseluruh kecamatan di kabupaten Ngawi melalui sosialisasi-sosialisai pembangunan pagupon yang diadakan PPAH kepada kelompok-kelompok tani yang ada. Hingga tahun 2012 jumlah pagupon yang telah berdiri di Kabupaten Ngawi berjumlah 186 buah, yang berasal dari dana swadaya PPAH maupun dukungan dari dinas terkait.
Tabel Data Pagupon Tyto alba di Kab. Ngawi
No |
Kecamatan |
19 96 |
19 97 |
19 98 |
19 99 |
20 00 |
20 01 |
20 02 |
20 03 |
20 04 |
20 05 |
20 06 |
20 07 |
20 08 |
20 09 |
20 10 |
20 11 |
1. |
Ngrambe |
2 |
4 |
6 |
20 |
26 |
17 |
13 |
34 |
70 |
59 |
30 |
46 |
25 |
25 |
32 |
32 |
2. |
Sine |
– |
– |
15 |
13 |
17 |
7 |
9 |
20 |
25 |
16 |
14 |
12 |
8 |
15 |
21 |
21 |
3. |
Jogorogo |
– |
2 |
6 |
8 |
8 |
5 |
4 |
34 |
34 |
28 |
23 |
8 |
6 |
12 |
12 |
12 |
4. |
Kendal |
– |
– |
2 |
6 |
8 |
6 |
6 |
36 |
32 |
26 |
24 |
18 |
17 |
19 |
22 |
22 |
5. |
Widodaren |
– |
– |
– |
2 |
5 |
10 |
8 |
18 |
16 |
13 |
10 |
6 |
8 |
13 |
13 |
21 |
6. |
Geneng |
– |
– |
– |
– |
– |
– |
– |
9 |
9 |
6 |
4 |
3 |
2 |
6 |
13 |
13 |
Sumber : Data Pusat Pengembangan Agens Hayati (PPAH) Kab. Ngawi Divisi Tyto alba.
Perkembangbiakan
Tyto alba biasanya bertelur dalam setahun hanya sekali. Normalnya jumlah telur rata-rata 3 hingga 4 butir saja, tapi pada lokasi-lokasi yang ketersediaan pakan berlimpah maka jumlah telur dapat mencapai hingga 7 butir. Jumlah penetasan hampir mendekati angka 100% pada jumlah telur yang 3-4 butir dibanding pada jumlah telur yang 7 butir. Musim bertelur dari burung hantu ini biasanya pada bulan Juni tetapi pernah juga dijumpai burung ini bertelur pada bulan Februari, hal ini dimungkinkan pengaruh dari kelimpahan makan (tikus). Tikus biasanya mulai berkembangbiak pada bulan Mei hingga bulan Agustus mencapai puncaknya.
Proses penetasan telur burung hantu di pagupon tetap harus diawasi, karena pada telur yang menetas terlebih dahulu akan tumbuh anakan yang lebih besar dibanding dengan anakan yang dari telur yang menetas belakangan. Dan ianakan yang awal akan mulai menyerang anakan yang belakangan menetas. Untuk itu, telur yang menetas lebih dahulu harus segera dipindahkan ke tempat lain. Maka pada tahun 2004 didirikanlah kandang karantina yang bertempat di belakang kantor / sekretariat PPAH di desa Giriharjo. Burung hantu anakan akan menempati kandang karantina ini paling lama selama 3 bulan, hal ini untuk menghindari agar burung hantu tersebut tidak kehilangan naluri liarnya. Dari kandang karantina biasanya akan ditaruh pada pagupon baru atau dikirim ke daerah lain yang memesannya, jika tidak maka akan dilepasliarkan.
Pada tahun 2006 dan 2007 merupakan puncaknya perkembangan dari Tyto alba di wilayah kabupaten Ngawi. Karena lonjakan perkembangbiakan tersebut sempat beredar isu bahwa Tyto alba akan memakan walet-walet yang ada. Bahkan sempat ada sayembara untuk mengurangi jumlah dari Tyto alba dengan hadiah uang sejumlah 100 ribu rupiah jika berhasil membunuh seekor Tyto alba. Kemudian PPAH bergerak memberikan sosialisasi kembali mengenai Tyto alba kepada para pengusaha walet hingga dapat dipahami oleh para pemilik rumah walet tersebut
“Menyebarkan” Tyto alba
Kegiatan PPAH awalnya merupakan misi sosial karena bentuk PPAH juga merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tetapi dengan terus berkembangnya penangkaran Tyto alba secara alami, maka PPAH mulai “kelabakan” dalam memenuhi pakan burung hantu ini di kandang karantina. Hal ini dikarenakan pakan burung hantu saat ini adalah marmut bukan lagi tikus, karena saat ini sudah sulit sekali untuk mendapatkan tikus disekitar desa. Di lain pihak permintaan akan burung hantu Tyto alba mulai berdatangan utamanya dari perkebunan-perkebunan kelapa sawit untuk mengatasi serangan hama tikus. Sejak tahun 2007, PPAH sudah mengirim lebih dari 100 pasang Tyto alba ke berbagai daerah, antara lain Gorontalo, Kutai Kertanegara, Menado, Sampit, Demak, Pontianak, Boyolali, Klaten, Yogyakarta, Blitar, Jombang, Mojokerto, Kendal, dan Tulungagung.
Saat ini, jumlah tikus di desa giriharjo sudah jauh menurun sehingga sudah biasa bagi warga melihat burung hantu mengejar tikus di wilayah pemukiman dan rumah-rumah warga di desa tersebut. (Agus Irwanto)