Sebenarnya memiliki satwa atau burung yang dilindungi itu boleh atau tidak ? Terus, bagaimana caranya untuk memiliki izin penangkaran burung yang sesuai peraturan perundangan yang berlaku ? Nah, mari kita kulik bersama sambil ngopi, yuk …
Ada dasar aturan yang perlu kita ketahui dan pahami bersama, bahwa setiap spesimen tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang dilindungi dan tidak diketahui asal usulnya (secara administrasi) disebut F0 / W (wild) dan. Lho koq bisa ? lalu bagaimana dengan satwa yang berasal dari penangkaran ?
Mari kita lihat terlebih dahulu berbagai peraturan perundangan yang mengatur hal tersebut.
Pertama, Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
Pada Pasal 21 ayat 2, disitu disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut dan memperniagakan satwa dilindungi baik dalam keadaan hidup maupun mati. Dan ini ada hukuman pidananya loh.
Bagi yang sengaja melakukan pelanggaran terhadap pasal diatas maka bisa dipidana penjara hingga lima tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah. Sedangkan bagi yang lalai melakukan pelanggaran tersebut dapat dipidana kurungan paling lama satu tahun dan denda paling banyak lima puluh juta rupiah.
Kedua, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 19 Tahun 2015 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa liar.
Mengenai satwa yang berada pada unit penangkaran, maka ketentuan yang diacu adalah Permenhut Nomor P.19 tahun 2005, khususnya paragraf 2 mengenai pengadaan dan legalitas asl induk. Namun sebelumnya mari kita pahami dulu apakah itu penangkaran ?
Unit penangkaran adalah unit usaha yang hasilnya untuk diperjualbelikan atau untuk dijadikan objek yang dapat menghasilkan keuntungan secara komersial dari hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan generasi berikutnya. Spesimen hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan berikutnya diperlakukan sebagai spesimen yang tidak dilindungi setelah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor P.19 tahun 2005.
Jangan lupa, pemegang izin penangkaran berkewajiban melakukan Penandaan Spesimen Hasil Penangkaran, yang dilakukan dengan tanda yang bersifat permanen, baik dalam bentuk tag/cap/transponder/tatoo/label/pemotongan bagian tubuh lainnya. Tujuannya untuk membedakan antara sesama indukan, indukan dengan anakan, anakan dengan anakan lainnya, atau antara spesimen hasil penangkaran dengan spesimen hasil penangkapan dari alam.
Oleh karena itu, spesimen hasil penangkaran wajib diberi penandaan untuk membedakan spesimen hasil penangkapan dari habitat alam atau hasil pengembangbiakan generasi pertama (F1) atau hasil pengembangbiakan generasi kedua (F2) dan seterusnya.
Pada Pasal 11, disebutkan bahwa satwa yang berasal dari hasil rampasan, penyerahan masyarakat atau temuan, sepanjang tidak dapat diketahui asal-usul atau status keturunannya dianggap sebagai spesimen hasil tangkapan dari alam (W). Dan, penggunaannya sebagai induk penangkaran dapat dilakukan dengan izin Menteri.
Pasal 13, menyebutkan bahwa indukan pengembangbiakan satwa liar yang dilindungi yang berasal dari habitat alam (W) dinyatakan sebagai milik Negara dan merupakan titipan Negara. Pun demikian dengan indukan pengembagbiakan satwa liar generasi pertama (F1) hasil penangkaran jenis satwa liar yang dilindungi. Kedua indukan ini tidak dapat diperjualbelikan dan wajib diserahkan kepada Negara.
Untuk memudahkan penelusuran asal usul (tracking) spesimen hasil penangkaran, penandaan dilengkapi dengan sertifikat, yang berisi kode tanda, nama jenis, jenis kelamin (apabila diketahui), kode tanda dari induknya, tanggal dilahirkan/menetas/dibiakkan, tingkat generasi, nama/kode penangkar.
Oleh sebab itu, barangsiapa yang memiliki, memelihara, menyimpan, mengangkut, memperniagakan, spesimen satwa dilindungi yang dianggap sebagai hasil tangkapan dari habitat alam (W/F0) tanpa dilengkapi izin perolehan dari Menteri dianggap sebagai pelanggaran tindak pidana. Hal itu sebagaimana diatur pada pasal 40 ayat 2 dan 4 jo. Pasal 21 ayat 2 a dan b pada Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1990.
Maka, bagi pemegang izin penangkaran harus aktif dan peduli kepada unit penangkaran yang dikelolanya. Pihak BBKSDA Jatim bertugas membina dan mendampingi. Dan jika ada kesulitan, penangkar diharapkan untuk meminta bimbingan kepada petugas yang ada atau terdekat. Silahkan menghubungi layanan Call Center BBKSDA Jatim di 0822 3211 5200.
Penulis : Dr. Nandang Prihadi, S.Hut., M.Sc., Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur