Badak Leuser Bangkit Kembali
Share
TEMPO.CO , Jakarta: Badak itu mendongakkan kepala dan menyentuhkan ujung mulutnya pada batang pohon di depannya, seolah sedang menciumnya. Badak betina itu tidak sadar bila tingkahnya itu terekam kamera tak jauh dari dirinya.
Foto itu adalah bukti kuat bahwa badak Sumatera masih menjelajahi hutan di Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di provinsi paling barat Indonesia itu. “Badak Sumatera kembali dijumpai di Leuser setelah 26 tahun dinyatakan punah,” kata Jamal M. Gawi, Direktur Yayasan Leuser International, ketika berkunjung ke kantor Tempo, Senin lalu.
Badak dalam potret bertanggal 9 Desember 2011 pada pukul 13.55 itu bukanlah satu-satunya individu badak Sumatera di kawasan seluas 2,6 juta hektare tersebut. Bersama petugas Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, tim dari Yayasan Leuser International berhasil merekam aktivitas sejumlah badak lain.
Hampir seribu foto berhasil diambil selama setengah tahun ini. Ada foto badak yang terekam tengah mencari makan di tengah hutan dataran tinggi, dan ada yang sedang asyik berendam di kubangan lumpur.
“Jumlahnya diperkirakan 7-25 ekor dan semuanya dalam kondisi sehat,” ujar Jamal. Badak betina yang tertangkap kamera dengan kepala mendongak itu diperkirakan berusia 8 tahun.
Keberadaan badak bercula dua di Leuser dipantau lewat sejumlah kamera jebak (camera trap) yang dipasang di beberapa pohon. Tim peneliti memasang 30 unit kamera jebak sejak pertengahan 2011. Semuanya dipasang di lokasi-lokasi kubangan badak. “Badak sangat suka berendam di kubangan lumpur,” ujar Jamal.
Kamera menggunakan sensor inframerah untuk mendeteksi pergerakan satwa–salah satunya badak–sekaligus sebagai pemicu kokang kamera. Kamera seketika mengabadikan gambar si badak saat melintas. Tanpa suara, tanpa kilatan lampu sorot, cukup berkedip. Total seribu potret berasal dari dua puluhan badak karena seekor badak bisa terpotret hingga puluhan kali.
Identifikasi jenis kelamin badak ditentukan lewat ciri morfologi badak secara umum. Individu jantan memiliki tubuh relatif lebih besar ketimbang betina. Baik jantan maupun betina sama-sama memiliki dua cula, tapi cula badak jantan jauh lebih panjang dan meruncing. Sedangkan cula badak betina cenderung lebih pendek dan tumpul.
Jamal mengatakan penampakan badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Leuser membawa secercah harapan baru bagi upaya konservasi satwa langka tersebut. Apalagi, daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan badak Sumatera berstatus terancam punah. “Hanya selangkah menuju kepunahan,” kata dia.
Klaim itu tidak berlebihan. Jumlah badak Sumatera di seluruh dunia diperkirakan hanya tinggal 200 ekor. Itu pun hanya tersebar di Leuser dan Way Kambas di Indonesia serta sebagian wilayah Sabah dan Sarawak di Malaysia.
Badak Sumatera adalah badak terkecil di antara lima spesies badak di seluruh dunia. Tingginya 120–145 sentimeter, dengan panjang tubuh sekitar 250 sentimeter dan berat kurang dari satu ton. Badak ini sangat khas lantaran kulit tebal tubuhnya diselimuti rambut berwarna kemerahan. Ciri ini tidak dijumpai pada spesies badak lainnya.
Jamal memperkirakan seluruh badak di Leuser yang gambarnya tertangkap kamera adalah individu remaja atau dewasa. Tidak ada satu pun potret yang menunjukkan anakan badak. Namun komposisi individu jantan dan betina belum dapat dipastikan. Perkiraan umur seluruh individu badak juga belum dipetakan. Tim akan mengoleksi kotoran badak yang ada di lokasi kemunculan untuk analisis populasi lanjutan.
Kemunculan badak Sumatera di Leuser sengaja tidak dipublikasikan secara luas. Tim peneliti dari yayasan dan Taman Nasional kompak tidak membuka informasi koordinat lokasi badak. Mereka khawatir informasi akan menyebar ke pihak yang tidak berkepentingan.
“Badak ini tinggal di hutan biasa saja yang bisa dimasuki semua orang. Tidak seperti badak Jawa yang tinggal di kawasan hutan lindung,” ujar Jamal.
Indonesia memiliki dua dari lima spesies badak. Selain badak Sumatera, Indonesia juga memiliki badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) yang hanya dijumpai di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Populasinya jauh lebih kecil ketimbang badak Sumatera, yakni sekitar 50 ekor. Tiga spesies lainnya adalah badak hitam (Diceros bicornis) dan badak putih (Ceratotherium simum) di Afrika serta badak India (Rhinoceros unicornis) di Nepal dan India.
Jumlah badak Sumatera terus menurun hingga 50 persen selama dua dekade terakhir. Penyebabnya adalah tingginya perburuan liar untuk mengambil cula badak serta maraknya perambahan hutan yang menjadi tempat hidup badak.
Cula badak dihargai sangat mahal di pasar gelap. Konvensi Internasional Perdagangan Satwa Langka (CITES) menyatakan harga cula bisa mencapai US$ 60 ribu per kilogram.
Penduduk Cina dan Vietnam merupakan konsumen utama cula badak. Sebagian masyarakatnya masih percaya cula badak berkhasiat obat dan diyakini dapat menyembuhkan sakit kepala, demam, penyakit jantung, bahkan beberapa jenis kanker.
Upaya konservasi badak Sumatera sempat menemui harapan baru tatkala seekor badak betina melahirkan seekor bayi jantan di Suaka Rhino Sumatera di Taman Nasional Way Kambas, Lampung Timur, Sabtu dini hari, 23 Juni 2012. Andatu–nama bayi badak itu–adalah anak badak pertama dalam 124 tahun yang dilahirkan di penangkaran. Andatu lahir dari pasangan Andalas dan Ratu. MAHARDIKA SATRIA HADI