Reog Ponorogo, tarian legendaris dengan topeng meraknya yang megah, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Jawa Timur. Asal-usulnya masih menjadi misteri, namun banyak versi cerita yang berkembang di masyarakat, salah satunya yang populer mengisahkan tentang seorang raja dari Kerajaan Bantarangin yang ingin melamar putri Kerajaan Kediri. Kisah inilah kemudian berkembang menjadi sebuah tarian yang sarat dengan makna simbolis.
Reog Ponorogo, kini telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak benda (WBTb) ke 14 dari Indonesia dalam Sidang ke-19 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Paraguay, 3 Desember 2024.
Di balik keindahan dan keunikannya, Reog Ponorogo menghadapi tantangan dalam pelestarian. Salah satu tantangan terbesarnya semakin menipis populasi Merak Hijau (Pavo muticus), hewan endemik yang bulunya digunakan untuk membuat dadak merak. Berdasarkan hasil penelitian Tri Wahyu Widodo, dkk (2018) yang berjudul Kebutuhan Bulu Merak Hijau (Pavo muticus muticus) Untuk Reog Ponorogo menyebutkan bahwa Barongan (dadak merak), unsur yang paling dominan dalam kesenian ini yang menggunakan bagian dari satwa yang dilindungi yaitu bulu burung merak hijau.
Hasil penelitian tahun 2018 terhadap satu penangkar merak hijau dan empat kelompok pembuat barongan di Kabupaten Ponorogo, diketahui bahwa untuk membuat satu barongan saja, mereka membutuhkan sekitar 900-1200 helai bulu yang setara dengan 6-10 ekor Merak hijau jantan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa setiap kelompok memproduksi sekitar 20 barongan setiap tahunnya. Satu-satunya penangkar Merak hijau di Ponorogo saat itu memiliki 12 ekor Merak jantan dewasa saja dapat memasok untuk satu kelompok pembuat. Maka, agar budaya reog ponorogo tetap lestari, setidaknya dibutuhkan 20 penangkar Merak hijau yang memiliki 6-10 ekor Merak jantan dewasa.
Program Membudayakan konservasi dan mengkonservasikan budaya, jargon yang telah digaungkan Balai Besar KSDA Jawa Timur sejak tahun 2017 menjadi sebuah bentuk komitmen pemerintah dalam mendukung upaya konservasi satwa liar khususnya merak hijau dalam rangka melestarikan budaya reog ponorogo. Dimana dalam program tersebut dilakukan optimalisasi penangkaran Merak hijau, rehabilitasi habitat, dan sosialisasi kepada masyarakat.
Pengakuan UNESCO atas Reog Ponorogo sebagai warisan budaya dunia menjadi momentum penting bagi upaya pelestarian satwa liar. Pemerintah, masyarakat, dan berbagai lembaga swadaya masyarakat bahu-membahu untuk menjaga kelestarian Reog dan habitat Merak hijau. Program-program edukasi, pelatihan, dan dukungan finansial terus digalakkan untuk memastikan kelangsungan kesenian ini. (dna)