Vonis untuk Pemburu Harimau Meningkat, Inikah Ganjaran Setimpal?

Share

Setengah tahun terakhir, ada empat keputusan hukum kasus perburuan dan perdagangan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae). Ada yang dihukum berat, ada juga yang ringan. Kenapa? Ini membuktikan adanya kesenjangan dan perbedaan persepsi antara jaksa penuntut umum dan hakim.

“Kami sangat mengapresiasi keputusan hakim untuk dua kasus perburuan dan perdagangan harimau di Bengkulu dan Aceh yang telah memberikan hukuman 3-4 tahun penjara kepada pelaku. Semoga, ini memberikan efek jera kepada pelaku dan juga efek psikologis kepada pelaku lain yang belum tertangkap, kejahatan yang mereka lakukan akan mendapatkan ganjaran setimpal. Hal ini juga merupakan studi kasus dan perbandingan bagi hakim dan penegak hukum lainnya seperti jaksa penuntut umum,” jelas Yoan Dinata, Ketua Forum Harimau Kita.

Kasus tersebut yakni vonis terhadap Azuar Anas (AA) dan Sudirman (SN) oleh Pengadilan Negeri Argamakmur, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, Juni 2016. AA divonis penjara 4 tahun dan denda Rp60 juta, subsider 3 bulan, sementara SN divonis 3 tahun kurungan dan denda Rp30 juta, subsider 2 bulan.

Kemudian Pengadilan Negeri Bireuen memvonis Maskur, seorang residivis kejahatan satwa di Aceh, dengan 3 tahun penjara, denda Rp50 juta, dan subsider 3 bulan, Juni 2016. Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa yaitu 2,5 tahun penjara. Maskur terbukti menjual kulit dan tulang dua anak harimau sumatera yang dibunuhnya dengan cara diracun, di kebun miliknya di Linge, Aceh Tengah, Aceh.

Namun, terkait dengan keputusan hukum yang diberikan pengadilan di Palembang dan Medan, Sumatera Utara, Dinata menilai, “Kami melihat masih ada kesenjangan dan perbedaan persepsi di aparat penegak hukum terutama di jaksa penuntut umum dan hakim. Kami melihat vonis rendah yang dijatuhkan oleh majelis hakim tersebut juga karena tuntutan yang diajukan penuntut umum rendah.”

Contohnya, kata Dinata, seperti kasus di PN Palembang yang memvonis 6 bulan penjara terhadap pelaku perdagangan harimau sumatera, 8 Juni 2016, karena tuntutan yang diajukan penuntut umum hanya 8 bulan. “Jadi masalahnya tidak hanya di hakim tapi juga di penuntut umum.”

Sementara di Pengadilan Medan, hakim menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp10 juta pada tiga penjual kulit harimau, 2 Februari 2016. Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut para terdakwa 2,6 tahun penjara dan denda 10 juta rupiah.

Menelisik kasus-kasus tersebut, jelas Dinata, pemerintah dan DPR perlu segera melakukan revisi UU No 5 Tahun 1990 yang dapat mengakomodir ketimpangan dalam penegakan hukum terkait tumbuhan dan satwa liar (TSL).

Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit (WCU) menuturkan, adanya perbedaan vonis yang dijatuhkan tersebut tentunya berdasarkan pengetahuan hakim itu sendiri. Pertimbangannya adalah dampak buruk atau kerugian terbunuhnya satu ekor harimau atau individu satwa liar terhadap ekosistem lingkungan dan pengaruhnya pada kehidupan manusia.

“Kami mengapresiasi tingginya vonis hakim yang diberikan terhadap pelaku kejahatan satwa liar untuk wilayah sumatera ini untuk dua kasus, Bengkulu dan Aceh, yang justru lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Semoga, vonis berat ini dapat diikuti hakim di wilayah lain,” ujarnya Senin (4/07/2016).

Irma menjelaskan, keberadaan jaksa dan hakim berlatar pengetahuan lingkungan sangatlah penting guna memberikan keadilan terhadap kejahatan satwa yang selama ini kita rindukan. Sebagai contoh, kasus di Pengadilan Negeri Tangerang dengan barang bukti satwa langka yang hendak diselundupkan ke luar negeri justru diganjar jauh dari harapan. “Padahal, kami telah memberikan data akurat, dan sang jaksa memiliki pengetahuan lingkungan mumpuni.”

Kita juga butuh hakim bersertifikasi lingkungan, yang tidak hanya ditambah jumlahnya tapi juga dipantau dan dievaluasi. Penting untuk diketahui, hakim bersertifikasi lingkungan sebaiknya tidak berpusar di jenjang pangkat tinggi, yang membuatnya menumpuk di pengadilan kota besar. Padahal, kasus kejahatan satwa banyak serseliweran di daerah yang tak jauh dari habitat satwa tersebut.

“Pengalaman kami menunjukkan, sejak 2013 ada 3 kasus kejahatan satwa liar yang hukumannya lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Kasus tersebut berada di PN Selong, Lombok untuk kasus pari manta; PN Denpasar, Bali untuk kasus owa jawa; dan PN Bireun, Aceh untuk kejahatan harimau.”

Terkait revisi UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Irma berharap, ada penegasan penjara minimal-maksimal dan begitu juga denda yang diberikan. Misal, penjara minimal 2 tahun dan maksimal 10 tahun, serta denda minimal Rp500 juta dan maksimal Rp2 miliar. “Dari denda yang dijatuhkan tersebut, dialokasikan untuk pemulihan satwa hasil sitaan di pusat rehabilitasi. Selain akibat perburuan, saat ini banyak pemilik satwa dilindungi yang bila bosan memelihara, menyerahkan begitu saja ke lembaga konservasi tanpa ada denda dan proses hukum. Ini harus kita perhatikan,” ujar Irma.

Dilindungi tapi diburu
Sunarto, Wildlife Specialist WWF-Indonesia, menyatakan perburuan harimau sumatera terus terjadi dikarenakan adanya pasar gelap yang belum bisa diberantas. Ini dimungkinkan karena dari satu sisi permintaan konsumen yang tinggi terkait mitos bahwa bagian tertentu tubuh harimau memiliki khasiat untuk bahan obat tradisional maupun kekuatan magis.

Di sisi lain, maraknya perdagangan gelap dan perburuan menunjukkan belum efektifnya upaya perlindungan dan penegakan hukum. Meski vonis yang diberikan belakangan ini menunjukkan adanya peningkatan di meja hijau namun belum memberikan efek jera ke pelaku. “Rendahnya tuntutan jaksa atau vonis yang dijatuhkan hakim harus kita pantau bersama.”

Menurut Sunarto, keberadaan harimau penting pada rantai makanan. Dalam ekosistem alami di hutan-hutan Asia, harimau merupakan predator puncak, yang setiap individunya menjalankan fungsi strategis. Bukan hanya jumlah, tetapi juga perilaku satwa herbivora maupun omnivora yang merupakan mangsanya seperti rusa, monyet, dan babi hutan.

Pengendalian populasi dan perilaku satwa-satwa tersebut penting karena berkaitan dengan kelangsungan ekosistem hutan beserta kelestarian keragaman hayati. “Secara tidak langsung, harimau berperan merawat ekosistem hutan di Asia yang kelestariannya sangat diperlukan demi keberlangsungan ekonomi dan kehidupan manusia.”

Jumlah harimau sumatera saat ini, berdasarkan perkiraan pengamatan dan penggunaan kamera jebak yang terungkap pada seminar “Indonesian Tiger Conference 2014” di Bogor, 11-13 Desember 2014, berkisar 300-400 individu. Jumlah tersebut diperkirakan berkurang akibat perburuan yang kerap terjadi dan habitat yang kian tergerus.

Sumber : mongabay.co.id