Loba (Symplocos sp) merupakan tanaman endemik di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang banyak tumbuh di Flores dan Sumba. Loba bisa dimanfaatkan sebagai pewarna alami yang menghasilkan warna kuning. Selain itu, berdasarkan penelitian dari BPK Kupang, loba dapat digunakan sebagai penguat warna alami karena mempunyai kandungan logam Aluminium (Al) dan Besi (Fe) yang tinggi. Kandungan ini banyak dijumpai pada daun, kulit kayu dan akar.
“Kandungan logam Aluminium pada daun loba lebih tinggi dibanding dengan bagian tanaman lainnya. Daun yang gugur atau berwarna kuning menunjukkan kandungan Aluminiumnya sudah maksimal,” kata Dani Pamungkas, S. Hut, Peneliti BPK Kupang.
Untuk memanfaatkan sebagai penguat warna alami, daun loba yang telah berguguran dikeringkan dengan cara dijemur di bawah terik matahari. Hal ini juga bermanfaat untuk meningkatkan keawetan dalam penyimpanan. Daun yang sudah kering kemudian ditumbuk atau dihancurkan menjadi serbuk halus. Serbuk daun loba ini siap digunakan sebagai campuran adonan dalam pencelupan warna alami.
Dalam pemanfaatan serbuk daun loba sebagai penguat warna alami, konsentrasi/jumlahnya beranekaragam tergantung pada bahan pewarna alaminya. Sebagai contoh, untuk penguat warna merah dari serbuk akar mengkudu (Morinda citrifolia L) membutuhkan konsentasi serbuk daun loba sebanyak 20% berat/volume. Begitu juga untuk warna biru dari fermentasi daunt arum (Indigovera tinctoria). Sedangkan untuk warna kuning dari serbuk kulit nangka (Artocorpus heterephyllus), agak lebih besar yaitu 50% berat/volume.
Kekuatan warna dengan daun loba tidak diragukan. Hasil uji kekuatan warna dengan menggunakan standar pengujian Grey Scale (SII.0113.75) menunjukkan nilai 5 yang berarti baik sekali atau awet. Dengan syarat bahwa dalam proses pewarnaan, baik dalam tahap pencucian maupun penjemuran di bawah terik matahari memakai Standar Industri Indonesia (SII).
Keunggulan daun loba sebagai penguat warna alami sudah terkenal. Banyak perajin tenun yang telah memanfaatkannya. Tidak hanya perajin tenun NTT, tetapi di luar NTT seperti Jawa, Kalimantan maupun Sulawesi. Hal ini memberikan peluang pasar bagi masyarakat NTT untuk menjual daun loba tersebut. Pada tahun 2009, pada tingkat pengumpull, 1 kg daun kering loba dijual dengan harga Rp. 45.000,-. Selain dalam bentuk daun kering, bisa juga dijual dalam bentuk serbuk.
Namun sayangnya, pengumpulan daun Loba masih dilakukan secara tradisional dan hanya memanfaatkan potensi tanaman loba di alam, tanpa adanya usaha budidaya oleh masyarakat. Hal ini menyebabkan perdagangan daun loba belum optimal. Selain itu, keberadaannya juga terancam karena potensi di alam semakin berkurang.
Kondisi di atas akan berdampak pada pengrajin tenun tradisonal, terutama di NTT. Sebagaimana diketahui bahwa NTT terkenal dengan kerajinan tenunnya. Pada tiap-tiap kabupaten mempunyai ciri khas dan keistemewaan masing-masing, baik dalam corak maupun warna. Satu hal yang hampir sama yaitu pembuatannya masih dilakukan secara tradisional dengan menggunakan pewarna alami.
“Tenun ikat dengan cara tradisional dengan pewarna alami membutuhkan waktu yang lama. Hanya saja, lebih digemari oleh wisatawan terutama mancanegara,” kata Dani, yang telah melakukan survei ke Kelompok Tani ‘Bou Sama-Sama’ di Kabupaten Ende, NTT.
Sumber : forda-mof.org