Sosialisasi PP No.12/2014 yang dihadiri Direktur Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung (PJLKKHL) Kementerian Kehutanan, Dr. Ir. Bambang Suprianto, MSc., di Hotel Harris Kota Malang, Selasa (15/4/2013), diwarnai penolakan terhadap kenaikan tarif ke Gunung Bromo yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.12/2014 yang bakal diberlakukan pada Mei mendatang.
PP tersebut mengatur tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kehutanan. Dalam PP tersebut tarif masuk ke lokasi wisata seperti taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, cagar alam, suaka margasatwa dan taman buru mengalami kenaikan. Tarif masuk akan naik secara bervariasi menjadi Rp5.000-Rp20.000 bagi wisatawan domestik dan Rp100.000-Rp300.000 bagi wisatawan asing.
“Hal ini juga dalam upaya untuk mengimbangi anggaran untuk konservasi alam yang mencapai Rp1,5 triliun per tahun. Jumlah tersebut relatif kecil karena untuk 275.000 hektare (ha) berarti cuma Rp51.000 per ha per tahun,” jelas Bambang Suprianto. Idealnya anggaran untuk konservasi kawasan Taman Nasional sebesar Rp 300 ribu atau USD 21 perhektar pertahun. Angka itu mengacu pada konservasi kawasan hutan lindung dan wilayah konsesrvasi di Asia Tenggara. Menurut Bambang, ini disayangkan karena Indonesia memiliki banyak kawasan lindung dan kawasan konservasi yang dijadikan tujuan wisata. Bila saja anggaran konservasi bisa ditingkatkan, maka pengelolaan lebih efektif sehingga peningkatan pengunjung akan lebih baik.
Pelaku industri pariwisata di Jawa Timur (Jatim) secara tegas menyatakan penolakan terhadap kenaikan tarif ke Gunung Bromo. Perhimpunan Hotel dan Retoran Indonesia (PHRI) Jawa Timur melalui wakilnya Uddy Syaifudin mengatakan PHRI siap melakukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan yudisial review atas PP yang dinilai akan mematikan industri pariwisata di Jatim tersebut.
Sementara itu Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Provinsi Jatim, Dwi Cahyono, mengatakan Bromo merupakan pintu masuk wisata di Jatim. Kalau pintu masuknya bakal terganggu akibat PP tersebut maka secara otomatis akan berdampak pada industri pariwisata di Jatim lainnya.
Bambang menambahkan, “Kami mempersilahkan masyarakat untuk melakukan gugatan. Karena uji materi atas PP tersebut di MA berlaku 90 hari sejak ditetapkan, dan saat ini masih ada waktu sekitar 25 hari. Selain itu PP bisa mundur atau lebih cepat berlaku karena sedang menunggu terbitnya peraturan menteri (permen).”
Harapannya masyarakat tidak melakukan black campaign atau kampanye hitam kalau nantinya PP mulai diberlakukan. Karena hal itu akan merugikan dunia pariwisata tidak hanya di kawasan Bromo Tengger Semeru namun juga secara nasional.