Pemerintahan baru mendatang harus memikirkan pemanfaatan energi alternatif menggantikan bahan bakar fosil dan jangan lagi membuka hutan guna mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) 26 persen pada 2020, Ujar Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim.
Menurut dia, sumber emisi GRK sebagain besar berasal dari hutan dan gambut. Kebakaran hutan menjadi penyumbang terbesar, diikuti deforestasi dan konversi lahan hutan gambut untuk kegiatan produktivitas.
Dalam beberapa tahun terakhir, ia mengatakan, kebakaran hutan relatif berkurang, begitu pula deforestasi. “Kebakaran hutan dan lahan 2014 sudah dua kali memang, ini kita tunggu seperti apa kalau El Nino datang. Deforestasi berkurang dari 1,1 juta hektare jadi 600.000 hingga 700.000 hektare, artinya emisinya berkurang,” ujarnya.
Dari lahan gambut, ia mengatakan, perhitungan pelepasan emisi memang diperkirakan mencapai 1,5 miliar ton. Namun, dinilainya, dengan berbagai aksi dan upaya yang dilakukan selama ini, termasuk penanaman pohon, perhitungannya emisi yang tidak dikeluarkan mencapai 500 juta ton.
“Tapi, angka ini tidak sama di pemerintahan ke depan, jika mereka lebih banyak buka hutan,” ujar Agus. Ia mengatakan, kondisi hutan dan lahan di Indonesia sudah berubah jika dilihat dari 2000 hingga 2014. Separuh dari lahan di Indonesia sudah beralih dari hutan dan gambut menjadi alang-alang.
“Jika dilihat dari sana, maka emisi yang ditimbulkan dari kegiatan di Indonesia berasal dari kegiatan tidak produktif. Seharusnya 53 persen lahan berupa alang-alang dapat dimanfaatkan sehingga hutan yang tersisa tidak perlu lagi dibuka,” demikian Agus Purnomo.
Sumber : antaranews.com