Pelepasliaran Burung dan Cara Bijak Melakukannya

Share

Elang ular bido yang akan dilepasliarkan ke alam bebas yang sesuai habitatnya, setelah setahun menjalani rehabilitasi. Foto: Suaka Elang

Pelepasliaran burung dapat diartikan sebagai upaya melepaskan kembali burung ke alam. Kegiatan ini merupakan dampak dari aktivitas yang dilakukan sebelumnya yaitu menangkap burung liar dari alam untuk dimanfaatkan. Pemanfaatan yang dimaksud adalah menjadikan burung sebagai peliharaan di sangkar atau diperdagangkan.

Di masyarakat kita, pelepasliaran burung sudah biasa dilakukan oleh sebagian penduduk, khususnya dalam hal ritual atau seremonial. Kegiatan ritual yang sudah tercatat adalah pelepasliaran di sekitar pura oleh umat Hindu atau dilakukan oleh masyarakat etnis Tionghoa saat merayakan imlek.

Pada dasarnya, pelepasliaran burung dilandasi niat yang baik dan akan menjadi lengkap bila masyarakat tidak menangkap kembali burung yang dilepas tersebut. Hal lainnya adalah masyarakat pun diharapkan tidak mengganggu terlebih memburu burung yang hidup di alam liar, apalagi menjadikannya komoditas perdagangan.

Kenapa burung tidak boleh diganggu? Karena penting bagi lingkungan. Burung membantu proses penyerbukan bunga menjadi buah, menyebarkan biji untuk menumbuhkan hutan, juga mengendalikan serangga yang menjadi hama pertanian. Keindahan bulu dan kemerduan kicaunya memberikan rasa tentram, damai, dan bahagia bagi kita.

Sebagai informasi, Indonesia memiliki sekitar 1.605 jenis burung. Dari jumlah tersebut, ada yang jenis asli (endemik), juga pendatang atau migrasi yang datang pada waktu tertentu. Biasanya akan tinggal sementara untuk mencari makan selama musim dingin di tempat asalnya berlangsung.

Penting untuk diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan Fatwa Nomor 4 Tahun 2014 tentang Larangan Perdagangan Satwa Liar yang mengharamkan segala bentuk perdagangan satwa liar terancam punah termasuk burung liar. Meski, seruan itu belum terlihat nyata dalam kehidupan masyarakat.

Tahapan
Sebelum melepas burung ke alam, ada hal mendasar yang harus kita cermati. Pastikan, burung tersebut memang burung asli dari tempat atau pulau yang akan kita lepaskan nanti. Setelah syarat dasar ini terpenuhi, berikutnya ada tiga tahapan yang harus dilakukan yaitu sebelum pelepasliaran (pra), saat pelepasliaran, dan setelah pelepasliaran (pasca).

Dalam tahap pra pelepasliaran, ada persiapan teknis terkait si burung; seperti identifikasi jenis, kelayakan burung dari faktor kesehatan dan perilakunya; serta persiapan lokasi yang dipilih berupa penilaian kelayakan habitat.
Mengenai kelayakan burung, ini kriterianya:

  1. Kepastian identifikasi jenis burung secara morfologi yang dilakukan oleh ahli ornitologi (biologi burung) didukung identifikasi secara molekuler yaitu dengan analisis DNA
  2. Jenis burung yang akan dilepasliarkan berasal dari wilayah atau tempat kita akan melepasliarkan, atau yang sebelumnya disebut burung endemik
  3. Burung memiliki kondisi fisik normal (menurut ahli ornitologi) serta kesehatan yang baik dan bebas penyakit, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan
  4. Burung tersebut tidak menjadi pengganggu atau pesaing komunitas atau burung-burung lain yang sudah ada di tempat pelepasliaran
  5. Burung aman dari pemangsaan atau gangguan lain baik gangguan satwa lain atau manusia
  6. Sebelum dilepasliarkan, sebaiknya diberi penanda untuk membedakannya dari burung asli yang sudah lebih dulu menghuni. Tujuan utama dari penandaan ini adalah untuk memudahkan pemantauan pasca-pelepasliaran

Penilaian perilaku burung yang akan dilepasliarkan pun penting dilakukan oleh ahli etologi (ilmu perilaku) mengingat burung tersebut sudah mengalami masa pemeliharaan di sangkar. Penilaian perilaku dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap sifat liarnya, kemampuan makan, dan perilaku umum yang biasa dilakukan dalam kegiatan harian seperti terbang, bertengger, bersuara, dan sebagainya.

Sementara, persiapan teknis yang harus dilakukan pada lokasi terpilih adalah:

  1. Lokasi sebaiknya di wilayah sebaran alami burung yang akan dilepasliarkan dan sebaiknya memiliki status perlindungan yang jelas
  2. Kondisi habitat sesuai dengan burung yang akan dilepasliarkan sehingga burung tersebut tidak mengalami perubahan perilaku yang dapat membahayakan keseimbangan ekosistem, serta karakternya mendukung untuk berkembang biak
  3. Lokasi memiliki sumber pakan tersedia dan mudah didapatkan oleh burung yang dilepasliarkan, serta memiliki tempat untuk bertengger dan bersarang
  4. Aman dari gangguan dan ancaman pemangsa atau bahkan manusia sehingga pelepasliaran dijamin akan berhasil

Tahap kedua yaitu pelepasliaran, yang perlu pula dilakukan adalah persiapan teknis pembuatan kandang atau sangkar untuk habituasi (melatih burung terbiasa) dan pemindahan burung dari sangkar pemeliharaan ke tempat habituasi atau pelepasliaran. Sangkar habituasi diperlukan apabila burung sudah lama hidup di kandang dan memerlukan ‘rumah antara’ sebelum kembali hidup di alam bebas.

Kelengkapan administrasi seperti surat rekomendasi kesehatan dari dokter hewan, surat kelayakan perilaku dari ahli perilaku (etologi), surat kelayakan lokasi / tempat pelepasliaran, dan surat menerima burung dari pengelola kawasan harus dibuat. Kegiatan pelepasliaran ini juga perlu disampaikan ke masyarakat sekitar lokasi pelepasliaran agar mereka berperan aktif menjaga burung yang dilepas itu.

Tahap ketiga yaitu pasca-pelepasliaran adalah hal yang sangat menentukan keberhasilan pelepasliaran. Dalam fase ini dilakukan pemantauan berkala terhadap burung yang dilepasliarkan dengan tujuan mengetahui kemampuan burung untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik dalam mencari pakan, berinteraksi dengan burung lain yang sejenis atau berbeda, yang pastinya sudah lebih dulu menghuni lokasi tersebut. Kegiatan pemantauan dilakukan sampai burung tersebut bisa menyesuaikan diri dan berhasil berbiak.

Waktu yang diperlukan dari pemantauan sampai kondisi burung yang dilepasliarkan itu baik, tentu saja berbeda, tergantung jenis burung dan masa waktu burung tersebut dipelihara di sangkar. Penting untuk diketahui, pelepasliaran harus dilakukan dengan tanggung jawab. Kegiatan tidak berhenti hingga pelepasliaran saja, tetapi hingga pasca-pelepasliaran. Tentu saja, melibatkan masyarakat sekitar dalam pemantauan, hasilnya akan lebih efektif.

Peran pemerintah
Pengelolaan populasi burung liar di alam yang dilakukan pemerintah dimandatkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Direktorat Jendral Konservasi Sumber Daya Alam & Ekosistem (DitJen. KSDAE) khususnya Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (Dit. KKH). Dalam melaksanakan tugas tersebut KLHK didukung oleh otoritas keilmuan keanekaragaman hayati yang dimandatkan oleh pemerintah kepada Pusat Penelitian Biologi-LIPI dan mitra. Sampai saat ini pemerintah masih menggodok aturan baku yang khusus mengenai pelepasliaran burung ke alam.

Secara umum, payung hukumnya tersirat dalam pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan pasal 19 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, yang sangat jelas mengatakan bahwa pengembalian ke habitat merupakan tujuan paling utama dari pengelolaan satwa (dalam hal ini burung) di luar habitatnya.

Pengelolaan di luar habitat dimaksudkan untuk burung-burung yang menjadi korban bencana alam dan karena kegiatan manusia seperti perburuan, perdagangan, dan pemeliharaan burung dilindungi secara ilegal.

Contoh kasus
Pelepasliaran burung yang baik sudah dilakukan pada 2015 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kegiatan ini diawali dengan program penyelamatan kakatua jambul kuning yang disebut “Save Jacob” yang dicanangkan KLHK pada Mei 2015 sebagai dampak penyelundupan kakatua jambul kuning besar-besaran yang terjadi sebelumnya.

Guna mendukung program tersebut, masyarakat menyerahkan kakatua peliharaan mereka ke KLHK. Tercatat, dari 8 Mei – 8 Juni 2015 sekitar 115 ekor burung telah diterima KLHK dari masyarakat wilayah Jabodetabek. Untuk melaksanakan program pelepasliaran burung ke alam Menteri LHK membentuk tim independen melalui SK 194/MenLHK-Setjen/2015 tanggal 29 Juni 2015. Tim tersebut beranggotakan staf KLHK, staf peneliti Puslit Biologi-LIPI, dosen universitas dan LSM yang bergerak di konservasi burung.

Tim ini melaksanakan semua tahapan pelepasliaran seperti yang telah disampaikan di atas. Sekitar 21 ekor burung yang terdiri dari 19 ekor kakatua (Cacatua galerita triton) dan 2 ekor alkai raja (Probosciger aterrimus) telah memenuhi kriteria penilaian dan dipilih untuk dilepasliarkan pada tahap pertama. Lokasi yang dipilih adalah kawasan Cagar Alam (CA) Cycloops di Jayapura. Masyarakat adat di sekitar kawasan menjadi penjaga utama bagi burung yang dilepasliarkan. Secara rutin petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua melakukan pemantauan di CA Cycloops itu.

Harapan
Sebagai harapan bersama, mari kita jaga burung liar yang ada di sekitar pekarangan atau kebun yang ada. Biarkan burung terbang bebas dan menjalankan fungsinya di alam sebagai penjaga keseimbangan ekosistem lingkungan. Dengan begitu, kita akan tetap menikmati kicaunya yang riang maupun keindahan bulunya.

Jika ada pemilik burung di sangkar yang ingin ‘membebaskan’ burungnya, sebaiknya melapor dahulu ke staf BKSDA terdekat. BKSDA merupakan perpanjangan tangan dari KLHK yang ada hampir di seluruh wilayah Indonesia. Staf BKSDA pastinya akan membantu melepasliarkan, dengan tetap memperhatikan rambu-rambu yang ada.

Sumber : mongabay.co.id