Pantai Dibuka, Konflik Monyet-Manusia Tak Terhindarkan di Pacitan

Share

Ketika garis pantai Desa Widoro dibuka sebagai destinasi wisata baru, tak ada yang menyangka bahwa perubahan lanskap itu akan mengguncang keseimbangan ekologi di pesisir selatan Pacitan. Beberapa tahun kemudian, warga justru menghadapi tamu tak diundang: koloni besar Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) yang turun ke ladang-ladang, merusak tanaman pangan, dan memicu konflik yang tak lagi bisa dihindari.

Laporan terbaru diterima oleh Call Center Balai Besar KSDA Jawa Timur pada 2 Desember 2025 dari seorang warga setempat. Menanggapi laporan tersebut, Tim Respon Cepat RKW 06, Seksi KSDA Wilayah II Bojonegoro segera bergerak menuju Dusun Serenan. Meskipun para monyet tidak terlihat saat petugas tiba, sisa-sisa kerusakan yang tertinggal di area pertanian berbicara banyak, daun jagung patah, batang singkong tercabut, pisang tercerai-berai, hingga rumput gajah yang tampak seperti habis diserang kawanan besar.

Dari wawancara petugas dengan petani dan perangkat desa, terungkap bahwa jumlah monyet yang memasuki area pertanian diperkirakan mencapai sekitar seratusan ekor, terbagi dalam beberapa koloni. Serangan tidak hanya terjadi di Dusun Serenan, tetapi merata ke Talunrejo, Nguluh, Gesing, hingga Tenggar. Bahkan desa terdekat ikut terdampak.

Jenis tanaman yang terdampak pun beragam, mulai dari singkong, kelapa, pisang, jagung, kacang tanah, hingga pohon nangka. Bagi petani kecil yang menggantungkan hidup pada panen musiman, kerusakan ini bukan sekadar gangguan. Ini adalah ancaman nyata terhadap ketahanan ekonomi keluarga.

Upaya warga menggunakan pengusir manual, seperti bunyi-bunyian, lemparan ringan, dan pengusiran kelompok ternyata tidak banyak membantu. Koloni Monyet Ekor Panjang dikenal cerdas, adaptif, dan mampu belajar dari pengalaman. Ketika sumber makanan di hutan alami berkurang, mereka mencari alternatif di ruang terbuka manusia, terutama lahan pertanian yang menawarkan akses mudah terhadap energi.

Serangan Monyet Ekor Panjang bukanlah fenomena mendadak. Menurut warga, gejala ini mulai terlihat beberapa tahun terakhir, dengan puncak kejadian pada 2024 dan 2025. Salah satu penyebab yang diyakini memicu peningkatan frekuensi serangan adalah pembangunan destinasi wisata pantai di kawasan yang sebelumnya merupakan habitat jelajah alami monyet.

Ketika ruang hidup berkurang, satwa liar dipaksa untuk menyesuaikan diri. Dalam kasus Widoro, monyet menembus batas ekologi yang dulu memisahkan hutan dan desa. Ruang jelajah yang terfragmentasi membuat mereka lebih sering berinteraksi dengan manusia dan interaksi negatif pun menjadi tak terhindarkan.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Pacitan. Di berbagai belahan Asia Tenggara, primata opportunistik seperti Macaca fascicularis memang cenderung bergerak ke area dengan suplai makanan lebih stabil ketika habitatnya tertekan. Dalam beberapa catatan pola ini menjadi indikator penting tentang kesehatan lanskap dan tekanan akibat pembangunan yang kurang terkelola.

Disela pengecekan lapangan, Tim RKW 06 berkesempatan memberikan sosialisasi dan edukasi kepada warga mengenai teknik pengusiran yang lebih efektif, termasuk penggunaan suara yang terstruktur dan pengawasan di titik rawan. Petugas juga menekankan pentingnya dokumentasi setiap kejadian serangan, termasuk waktu, jumlah individu, dan arah pergerakan monyet. Data ini sangat berharga untuk analisis pola interaksi dan penyusunan strategi mitigasi jangka panjang.

Di sisi lain, warga didorong untuk melaporkan secara berkala kejadian yang muncul agar Balai Besar KSDA Jawa Timur dapat memantau dinamika populasi satwa dan menyiapkan intervensi yang lebih sistematis. Pendekatan kolaboratif dengan perangkat desa dan pemerintah kecamatan menjadi kunci untuk merumuskan solusi terpadu.

Kasus di Widoro memberi pesan ekologis yang kuat, bahwa setiap perubahan lanskap, sekecil apa pun, selalu berdampak pada jaringan kehidupan di sekitarnya. Kehadiran koloni monyet di ladang bukan sekadar peristiwa gangguan. Ini adalah sinyal dari alam bahwa keseimbangan sedang berubah, bahwa ruang liar yang menyusut kini mendesak satwa untuk bertahan di tengah ruang manusia.

BBKSDA Jawa Timur berkomitmen untuk terus mendampingi masyarakat dalam menghadapi interaksi negatif satwa-manusia melalui mitigasi, edukasi, dan pendekatan ekosistem. Namun, solusi jangka panjang membutuhkan sinergi antara konservasi, pembangunan, dan kesadaran bahwa keberlanjutan hanya bisa terwujud ketika manusia berjalan seiring dengan alam. (dna)

Sumber : Bidang KSDA Wilayah I Madiun – Balai Besar KSDA Jawa Timur