Cagar Alam (CA) Gunung Sigogor sebagai kawasan konservasi di wilayah Balai Besar KSDA Jawa Timur telah ditetapkan sejak September 1936 memiliki banyak kekayaan dan rahasia yang belum terungkap. Salah satunya berupa tumbuhan obat. Dan pada 16-19 Juli 2018 yang lalu Bidang KSDA Wilayah I melaksanakan inventarisasi tumbuhan obat di cagar alam yang terletak di ketinggian 1200-1700 mdpl tersebut.
Kegiatan ini menjadi sangat menarik selain karena topografi kawasan yang berbukit-bukit juga memiliki medan yang berlereng curam. Selain itu, 2 ahli tumbuhan obat Dr. Djoko Santoso, S.Si, M.Si dari Fakultas Farmasi UGM dan Dr.Ir.Yuli Widyastuti, MP dari Balai Besar Tanaman Obat (BBTO) Tawangmangu, ikut hadir dalam eksplorasi ini. Tak tanggung, Dr. Yuli membawa serta 4 stafnya untuk ikut dalam inventarisasi tersebut.
Perjalanan dimulai dari Desa Pupus menembus hutan lindung kawasan Perum Perhutani BKPH Wilis Barat, KPH Lawu DS. Pak Kasno, seorang Mitra Polhut yang juga penduduk setempat menjadi penunjuk jalannya. Selain sangat mengenal medan, juga pengetahuannya tentang kearifan lokal tanaman obat yang digunakan masyarakat desa penyangga.
Salah satu jalur yang kami lalui adalah jalur patroli lereng diatas papan nama kawasan. Jalurnya tergolong curam dan sangat menanjak, sehingga begitu menguras tenaga kami. Selama 4 hari kami menjumpai kurang lebih 186 jenis tumbuhan obat, padahal baru sebagian kecil wilayah di barat daya kawasan yang terinventarisasi.
Untuk mengenali tumbuhan obat, para pakar terkadang hanya melihat morfologinya saja untuk jenis yang telah diketahui namanya. Jika belum, maka identifikasi awalnya dengan melihat warna tumbuhan, karena itu salah satu tanda bahwa suatu tumbuhan memiliki aktivitas anti kanker/ antioksidan, selain kandungan kimia lainnya.
Pada tumbuhan obat yang menghasilkan minyak atsiri dikenali dengan meremas daunnya dan mencium aroma yang dihasilkan. Tak jarang juga para ahli menggunakan indera perasanya dengan mencicipi tumbuhan yang dijumpai. Melihat semangat Pak Wahyu staf BBTO mencicipi tumbuhan obat, Tri Wahyu, anggota tim berseloroh “Pak, saya catat jamnya bapak makan tumbuhan tadi, ini untuk keperluan kronologis kalau-kalau bapak meninggal keracunan.”
Selain warna, aroma dan rasa, ternyata ada juga jenis tumbuhan obat yang dikenali dari efek yang ditimbulkan pada kulit. Contohnya, jenis tumbuhan yang selama ini wajib kami hindari karena akan menimbulkan sensasi gatal dan pedih di kulit. Ternyata menurut Pak Wahyu merupakan obat rematik, Kemaduh namanya. Jika sudah terkena daun ini, Pak Wahyu dengan kalem memberi saran “dinikmati saja … mbak.”
Kegiatan berlangsung serius namun santai, setiap mendapati tumbuhan obat yang telah diketahui jenisnya, Pak Djoko dan Bu Yuli akan menjelaskan nama dan manfaat tumbuhan obat tersebut. Selanjutnya tim akan mencatat di papan akrilik nama jenis, nama kolektor, koordinat geografis, tempat dan tanggal ditemukannya. Jika keduanya belum mengetahui jenis tumbuhan obat yang dijumpai, maka di papan akrilik, tumbuhan tersebut akan disebut dengan istilah NN. Kemudian diambil contoh daun, bunga dan buahnya untuk diidentifikasi lebih lanjut di BBTO.
Tim juga menjumpai banyak sekali anggrek tanah jenis Calanthe triplicata yang menyejukkan pandangan dengan rumpun bunga putihnya. Anggrek ini dapat dijumpai setiap beberapa meter, tumbuh subur dibawah tegakan Wesen (Dodoneca viscosa). Semakin tinggi lokasinya, semakin banyak dibawah tegakan Pasang (Querqus sondaica) yang memang dominan di sisi barat daya bagian selatan cagar alam dengan ketinggian 1200-1300 mdpl.
Tidak hanya Calanthe, tim juga dibuat takjub saat menemukan salah satu “jewel orchid” yang menawan, Macodes petola. Salah satu jenis anggrek yang memiliki daun yang indah, sehingga termasuk kedalam anggrek yang disebut “jewel orchids”. Daunnya berwarna hijau sedikit ungu gelap, memiliki urat-urat longitudinal berwarna emas yang berkilau (inflorescence) dan permukaan yang menyerupai beludru, sangat indah.
Meski luas kawasan hanya 190,5 ha saja, namun waktu 4 hari ternyata baru cukup untuk menjelajahi sedikit di wilayah barat daya. Meski demikian, hasil yang didapat cukup menggambarkan kekayaan tumbuhan obat dikandungnya. Dan, masih diperlukan inventarisasi lanjutan untuk mengetahui jenis tumbuhan obat disisi lain Gunung Sigogor. (Siti Nurlaili, PEH Pertama).
Editor : Agus Irwanto