Di Bougenville Ballroom, Bess Mansion Hotel Surabaya, Wonocolo, Surabaya (4/12/2025), para pemangku kepentingan penerbangan duduk menghadap satu arah yang sama, muncul kesadaran yang mempersatukan bahwa langit yang aman tidak mungkin terwujud tanpa bumi yang tertata. Dari jalur migrasi burung hingga rencana revitalisasi bandara, setiap keputusan manusia meninggalkan jejak pada cara alam merespons.
Rapat Koordinasi Otoritas Bandara (Otban) Wilayah III tahun ini merangkum satu kenyataan penting, bahwa keselamatan penerbangan tidak bisa berdiri sendiri. Ia hanyalah puncak dari piramida besar yang ditopang oleh kebijakan, pengawasan, ruang kota, dan ekosistem yang hidup berdampingan dengan infrastruktur manusia.
Pembahasan dimulai dari urgensi yang paling mendasar, tentang pengelolaan Wildlife Hazard Management. Dengan delapan bandara internasional berada di bawah pengawasan Otban III, serta enam bandara baru yang ditetapkan sebagai bandara internasional, tantangannya tidak lagi sekadar mengusir burung dari jalur pesawat.
Tantangannya adalah memahami bagaimana habitat di sekitar bandara tumbuh, berubah, dan terus memengaruhi perilaku satwa liar. Karena setiap genangan air, rumpun vegetasi rendah, hingga lampu malam yang memancing serangga, menjadi magnet alami bagi burung.
Dalam rapat itu, muncul kesadaran kolektif bahwa pertumbuhan kota, yang dalam beberapa tahun terakhir berkembang tanpa jeda, juga membawa dampak ekologis yang tak ubahnya aliran angin yang mengubah arah terbang burung. Kota-kota yang tumbuh membesar tidak hanya memindahkan manusia, tetapi juga jalur burung, ruang makan satwa, dan pola pergerakan yang berpotensi meningkatkan risiko bird strike. Karenanya, penyempurnaan aturan menjadi kebutuhan yang tidak lagi bisa menunggu.
Perhatian kemudian mengarah pada isu supremasi aturan penerbangan sipil pada bandara enclave civil, sebuah pengingat bahwa keselamatan di udara harus ditopang oleh kepastian aturan di darat. Harmonisasi regulasi menjadi dinding pelindung yang memastikan bahwa pembangunan, konservasi, dan keselamatan tetap berjalan pada rel yang sama.
Rapat juga menyoroti rencana revitalisasi Bandara Internasional Juanda, sebuah proyek besar yang diperkirakan akan memengaruhi NAC dan jenis pesawat yang dapat beroperasi. Ini bukan hanya proyek infrastruktur, ini adalah intervensi ruang yang dapat mengubah dinamika habitat burung di kawasan pesisir Sidoarjo–Surabaya. Karena perubahan skala bandara hampir selalu sebanding dengan perubahan daya tarik ekologis di sekelilingnya.
Di tengah alur diskusi yang dipenuhi analisis teknis, muncul pula isu yang lebih dekat dengan masyarakat, tentang pengawasan harga tiket pada periode Natal 2025 dan Tahun Baru 2026. Hal ini menunjukkan bahwa pembahasan tidak hanya bergerak di antara mesin pesawat dan perilaku burung, tetapi juga menyentuh sisi sosial yang memengaruhi masyarakat luas.
Dan akhirnya, satu pesan penting menutup kesimpulan rapat, tentang peran pemerintah daerah harus kembali dihidupkan. Optimalisasi bandara, seperti contoh Jember, tidak mungkin bergerak tanpa kehadiran aktif Pemda. Dalam konteks konservasi, kehadiran Pemda bukan sekadar administrasi, kehadirannya adalah penentu arah pemanfaatan ruang, pengaturan sampah, tata air, dan pengelolaan landscape yang memengaruhi kehadiran satwa liar.
Keseluruhan rapat ini merangkum satu benang merah yang kuat, bahwa keselamatan penerbangan bukan hanya persoalan teknologi, tetapi tentang bagaimana manusia menata ruang hidupnya bersama alam.
Saat kita memahami bahwa jalur terbang seekor burung dapat bersinggungan dengan jalur terbang sebuah pesawat, kita sedang memahami sebuah kenyataan yang jauh lebih besar, bahwa langit dan bumi saling terhubung. Dan menjaga keselamatan di langit berarti bertanggung jawab pada cara kita memperlakukan bumi. (dna)
Sumber : Bidang KSDA Wilayah 2 Gresik – Balai Besar KSDA Jawa Timur