Membunuh Gajah, Menghancurkan Jejak Peradaban Bangsa Indonesia

Share

Gajah sumatera yang merupakan bagian dari kehidupan manusia. Dahulunya, mamalia besar ini begitu dihormati dan mendapat tempat terhormat, baik sebagai penyambut tamu hingga sebagai pasukan perang. Mengapa sekarang dibunuh? Foto: Junaidi Hanafiah

Jika kebesaran peradaban bangsa Mongol dan Amerika dibangun bersama kuda, maka berbagai bangsa di Asia dan Afrika, seperti Indonesia, dibangun bersama gajah. Ya, sejak ribuan tahun lalu, gajah telah akrab dengan Bangsa Indonesia. Diperkirakan, gajah bukan hanya digunakan sebagai alat transportasi atau tenaga kerja, tetapi juga sebagai bala tentara. Lalu, mengapa keberadaan gajah saat ini terlihat menjauh dari kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan sering terjadi konflik?

Jauh sebelum lahirnya Republik Indonesia, dan kehadiran bangsa-bangsa Eropa, berbagai suku bangsa di Nusantara telah akrab dengan gajah. Gajah dan manusia bagai memiliki hubungan khusus saat kehidupan di daratan berjalan. Bahkan, saat kapal-kapal laut menghubungkan berbagai suku bangsa di Nusantara, gajah-gajah selalu bersama manusia. Mereka menjelajahi hutan tropis, pelabuhan, kampung, kota, baik dalam misi damai maupun peperangan.

Peradaban megalitikum Pasemah, yang tumbuh dan berkembang sekitar 2.000 – 3.000 tahun silam, di wilayah Bukit Barisan Sumatera, secara tersirat meninggalkan jejak erat persahabatan antara manusia dengan gajah.

Ini terlihat dalam sejumlah arca megalit atau patung yang dinamis —bukan patung totem yang ditemukan pada sejumlah wilayah lain di Indonesia pada kurun waktu yang sama, seperti di Sulawesi— yang tersebar di dataran tinggi Sumatera Selatan.

Misalnya, Batu Gajah yang ditemukan Van Der Hoop, seorang arkeolog Belanda pada 1930-an di Tebat Kotaraya, Pagaralam, Sumatera Selatan. Pada batu berbentuk telur ini, dipahat wujud dua manusia menyerupai prajurit. Satu prajurit digambarkan mengapit satu individu gajah.

Arca ini seakan menjelaskan jika para prajurit dari masyarakat yang kemungkinan besar menguasai Bukit Barisan sepanjang Pulau Sumatera itu, menjadikan gajah sebagai kendaraan atau pasukan perangnya.

Arca atau patung lain mengenai gajah dalam peradaban megalitikum Pasemah yang ditemukan di Gunung Megang (Jarai, Lahat), memperlihatkan seekor gajah telentang dan ada seorang manusia duduk di atasnya. Kemudian, ada arca gajah yang ditemukan di Pulau Panggung (Kecamatan Pulau Bulan, Lahat), dan situs Tegurwangi (Pagaralam). Keberadaan patung atau arca gajah peninggalan peradaban megalitikum Pasemah ini, dapat dikatakan lebih dominan dibandingkan arca hewan lain seperti babi atau harimau.

Mengapa masyarakat Pasemah saat itu banyak membuat arca terkait gajah? Sebuah penghormatan, jawabnya. Penghormatan ini diberikan, gajah yang tergolong mamalia cerdas, selain membantu manusia dalam hal transportasi dan tenaga kerja, juga dinilai sebagai hewan yang mampu menghadapi medan Bukit Barisan yang berbukit dan berhutan tropis lebat, yang dipenuhi binatang lain sebagai ancaman hidup manusia. Dengan kata lain, arca-arca itu ingin menyampaikan pesan, jika manusia dan gajah lah yang membangun peradaban Pasemah.

Sultan Iskandar Muda pada masa pemerintahannya begitu disegani karena memiliki Seribu Pasukan Gajah. Sumber: Tropenmuseum

Sriwijaya
Sekian ratus tahun setelah peradaban megalitikum Pasemah, tepatnya di masa Kerajaan Sriwijaya, dimulai abad ke-7 hingga 12 masehi, posisi gajah tetap mengambil peran penting dalam kehidupan manusia.

Selain menjadi andalan Sriwijaya, gajah juga digunakan sebagai simbol kekuasaan atau kekayaan seorang raja atau kerajaan. Baik sebagai kendaraan para prajurit untuk berperang atau sebagai tenaga kerja.

Tidaklah heran, pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang memerintah dari Damaskus, Raja Sriwijaya yang diduga bernama Sri Indrawarman menulis surat kepada khalifah. Begini terjemahannya:

“…Dari raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil…”

Penjelasan gajah sebagai kendaraan perang para prajurit Sriwijaya, juga dapat disimak dalam Prasasti Tanjore (1030-1031) yang menceritakan seorang Raja Sriwijaya, Sangrama-Vijayaottungavarman, ditawan bersama gajahnya oleh Kerajaan Chola pada 1025 di Kadaram atau Kedah.

Selain itu, dalam Prasasti Wat Sema Mueang atau Prasasti Ligor juga disebutkan gajah. Prasasti itu menjelaskan pembangunan candi atau tempat suci oleh Raja Sriwijaya saat itu yang masuk wilayah Thailand.

Dengan fakta ata data di atas, dapat dikatakan gajah adalah satwa yang turut membangun peradaban Indonesia, khususnya Asia Tenggara. Gajah memiliki peranan penting bersama perahu atau kapal dalam membangun negeri maritim yang dipelopori Sriwijaya.

Jika kapal dan perahu menghidupkan sungai dan laut, maka gajah yang menghubungkan antar-permukiman manusia baik di pegunungan maupun dataran rendah. Tidak di situ saja, gajah juga menjadi kendaraan plus senjata perang.

Jejak kebesaran gajah bagi masyarakat di Indonesia, khususnya Sumatera, sampai hari ini pun masih terbaca. Banyak wilayah, seperti dusun atau desa tua, menggunakan nama “gajah”. Pemberian nama ini sebagai penghormatan atau pengakuan manusia terhadap gajah.

Di Pidie, Aceh, ada nama Desa Pulo Gajah Mate, nama yang sama ada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) yang bernama Desa Gajah Mati. Nama lainnya di OKI, seperti Desa Lebung Gajah. Di Riau, ada Desa Gajah Sakti atau Desa Lubuk Mandian Gajah. Di Jambi, ada Desa Pematang Gajah di Kabupaten Muarojambi. Di Bengkulu, ada Desa Gajah Makmur atau Desa Renah Gajah Mati, dan di Lampung ada Desa Kota Gajah.

Sultan Iskandar Muda
Meski Sriwijaya runtuh, gajah tetap mendapatkan posisi penting dalam kehidupan masyarakat atau kerajaan, baik di Sumatera maupun Jawa. Pada abad ke-17, di Aceh, Cirebon dan Banten, gajah digunakan sebagai alat transportasi.

Berdasarkan catatan pedagang Inggris, Peter Mundy, pada April 1637, dia menyaksikan skuardron pasukan gajah pada pemerintahan Sultan Iskandar Thani di Aceh. Thomas Allsen seorang sejarawan Amerika Serikat, menuliskan pada abad ke-17, Aceh mengekspor gajah ke Kerajaan Mughal dan Kerajaan Hindu Golkanda, India.

Di Aceh, gajah sumatera pernah menjadi kenderaan sultan dan prajurit baik saat melakukan kunjungan maupun pertempuran. Gajah juga pernah menjadi benteng pertahanan Kutaraja, Ibu Kota Kerajaan Aceh yang saat ini bernama Kota Banda Aceh.

Tarmizi A Hamid, kolektor manuskrip kuno Aceh, pada 19 Desember 2016 menjelaskan, perlakuan terhadap gajah semasa Kerajaan Aceh dengan saat ini sungguh jauh berbeda. Dahulu, gajah begitu dimuliakan karena dipakai sebagai kenderaan dan acara kebesaran kerajaan. Saat ini, justru diburu untuk dijual gadingnya.

“Dahulu, Aceh memiliki lebih 1.000 individu gajah yang siap diterjunkan ke medan pertempuran. Bahkan, saat menyerang Portugis di Johor, Kerajaan Aceh diperkuat oleh pasukan gajah yang diangkut dengan kapal perang.”

Dari berbagai literatur, penyerangan terhadap tentara Portugis di Malaka oleh Kerajaan Aceh terjadi beberapa kali, yaitu, pada 1537,1547, 1568, 1573, 1575, 1582, 1587, dan 1606 Masehi. Dalam penyerangan tersebut, puluhan ribu tentara dibawa beserta satu pasukan khusus, pasukan gajah.

Tarmizi menambahkan, saat Kerajaan Aceh berkuasa, gajah memang diburu. Tapi bukan untuk dibunuh atau diambil gadingnya, melainkan dijinakkan. Dijadikan kendaraan untuk petinggi kerajaan, mengangkut perbekalan pasukan, dan juga kenderaan tempur. “Bahkan, di Tangse, Kabupaten Pidie, dan di dataran tinggi Gayo, Kerajaan Aceh mendirikan pusat pelatihan dan pengembangbiakan gajah. Semua gajah ditempatkan di pusat pelatihan tersebut, untuk digunakan saat diperlukan.”

Hal yang sama diungkapkan Iskandar Norman, penulis sejarah Aceh. Menurutnya, saat Sultan Iskandar Muda akan menyerang pasukan Portugis di Malaka, atau Malaysia saat ini, Sultan Iskandar Muda berangkat dari Kutaraja menuju pesisir timur Aceh mengendarai gajah. Sementara pasukannya, menyusuri pantai menggunakan kapal perang.

“Saat itu, Sultan Iskandar Muda berangkat ke pesisir timur Aceh untuk mengumpulkan pasukan. Beliau mengendarai gajah bahkan singgah di Meureudu, Ibu Kota Kabupaten Pidie Jaya, saat ini. Nama Meureudu diberikan setelah gajah yang ditunggangi Sultan Iskandar Muda duduk di perbukitan daerah Meureudu.”

Iskandar Norman mengatakan, kerajaan-kerajaan di Aceh sangat membanggakan tentara gajah, karena hanya beberapa saja yang memiliki satwa berbadan besar itu. Bahkan, masyarakat Aceh zaman dulu, sangat menghormati gajah dengan memberikan nama khusus. “Po Meurah adalah gajah yang ditunggangi Sultan Iskandar Muda. Nama umum gajah di Aceh adalah Teungku Rayeuk, yang saat itu memiliki peranan penting untuk masyarakat termasuk kerajaan.”

Dalam sejumlah literatur disebutkan, kerajaan di Aceh memiliki pasukan gajah jauh sebelum Islam masuk ke Peureulak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam. Gajah juga telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kerajaan-kerajaan yang saat itu masih beragama Budha.

M. Junus Djamil, penulis buku Gadjah Putih terbitan 1959 menyebutkan, gajah telah menjadi lambang keagungan kerajaan di Aceh sejak tahun 500 masehi. Bahkan, Kerajaan Peureulak di Aceh Timur saat itu berdasarkan kitab Rahlah Abu Ishak Al Makarany disebutkan, Sultan Peureulak, Sultan Machdoem Johan Berdaulat Malik Mahmud Syah yang memerintah 1134 – 1158 Masehi, telah mengendari gajah berhias emas.

Setelah kerajaan-kerajaan di Aceh bergabung dalam Kerajaan Aceh Darussalam, gajah pun memiliki peran penting dalam kerajaan. Bahkan di Kutaraja, Ibu Kota Kerajaan Aceh, terdapat 300 individu gajah yang dapat digunakan untuk berperang, mengangkut perbekalan, serta menjadi benteng istana Sultan.

“Perlakuan kita terhadap gajah saat ini sungguh keterlaluan. Gajah diburu, dibunuh, dan gadingnya diambil untuk dijual. Nenek moyang orang Aceh tidak pernah melakukan perbuatan tidak terpuji ini. Nenek moyang orang Aceh tidak pernah memperjualbelikan gading gajah, karena gajah merupakan satwa yang begitu dihormati,” papar Tarmizi.

Membunuh gajah, melemahkan perlawanan?
Permintaan gading gajah bagi bangsa Eropa terus meningkat sejak mereka menjajah sejumlah bangsa di Afrika dan Asia. Perburuan gajah tersebut selama ini diyakini sebagai permintaan pasar akan gading, sebagai simbol prestise seorang bangsawan. Namun, bisa saja perburuan gading gajah itu sebagai upaya melemahkan “kekuatan meliter dan ekonomi” dari bangsa yang dijajah, yang selama ratusan hingga ribuan tahun menggunakan gajah.

Tarmizi mengatakan, perburuan gajah untuk diambil gading, baru terjadi setelah Belanda menjajah Nusantara. Gading diambil untuk dijual atau sebagai perhiasan. Hingga saat ini pemburuan masih terus terjadi dan jumlah gajah sumatera terus berkurang. “Ini perilaku buruk orang Indonesia yang harus segera dihentikan. Biarkan gajah yang pernah mengangkat martabat kerajaan-kerajaan di Aceh, Sumatera dan Nusantara, hidup bebas tanpa ada yang mengejarnya.”

Pemerintah kolonial Belanda sendiri akhirnya melindungi gajah melalui Peraturan Perlindungan Binatang-Binatang Liar pada 1931. Peraturan ini sebagai upaya melindungi kepunahan gajah. Namun, peraturan tersebut lahir setelah mereka secara penuh menjajah atau menguasai semua wilayah Indonesia, khususnya Sumatera dan Jawa. Sementara gajah, tidak lagi mendapat posisi penting dalam kehidupan masyarakat.

Dengan kata lain, peraturan pemerintah Belanda tersebut tidak mampu mengembalikan hubungan harmonis manusia Indonesia dengan gajah. Apalagi, pada perkembangan selanjutnya, ilmu dan teknologi juga berimbas pada masyarakat Indonesia di sekitar hutan, yang kemudian menyingkirkan peranan gajah dalam kehidupan manusia sebagai alat transportasi dan tenaga kerja, sebagaimana hadirnya mobil.

Sekarang
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Genman Hasibuan mengatakan, saat ini perkiraan populasi gajah liar di Provinsi Aceh sekitar 580 individu yang tersebar di sejumlah kabupaten/kota di Aceh. “Konflik antara manusia dengan gajah terus terjadi karena memperebutkan lahan yang sama.”

Genman menuturkan, upaya penyelamatan gajah liar dan meredam konflik dilakukan oleh BKSDA yang dibantu berbagai pihak. Termasuk, pendirian Conservation Response Unit (CRU) dan pemasangan GPS Collar. CRU tersebut berada di Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Aceh Selatan.

“Pada 2016 ini ada tiga kasus kematian gajah di Ketol (Aceh Tengah), Banda Alam dan Seumanah Jaya (Aceh Timur). Sementara, pada 2015 ada sembilan kasus dan di 2014 ada 10 kasus.”

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur mengatakan, tingginya konflik antara gajah dengan manusia dikarenakan maraknya perambahan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, hingga saat ini menurutnya, belum terdengar adanya kasus pembunuh gajah yang diseret ke pengadilan, kecuali kasus gajah jantan (Papa Geng) di Kabupaten Aceh Jaya.

“Di Aceh Timur pernah ditangkap pelaku pada 2014. Namun, kasus tersebut tidak pernah terdengar lagi hingga kini.”

Ketua Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) Krismanko Padang memaparkan akan kondisi gajah sumatera saat ini yang jumlahnya terus menurun. Pada 1985, diperkirakan berjumlah 2.800 – 4.800 individu, lalu pada 2007 diperkirakan sekitar 2.400 – 2.800 individu, dan pada 2014 turun menjadi 1.700 – 2.000 individu. Bila dilihat periode 1985 – 2007 dan 2007 – 2014, terlihat laju penurunan signifikan. “Belum muncul harapan cerah untuk masa depan konservasi gajah sumatera,” ujarnya, Sabtu (24/12/16).

Terkait kawasan konservasi alam yang berprospek untuk penyelamatan gajah, tulisan Azmi dan Gunaryadi (2011) dalam “Current Status of Asian Elephants in Indonesia” ada jawabannya. Adalah Taman Nasional Gunung Leuser, Suaka Margasatwa Siak Kecil, Suaka Margasatwa Padang Sugihan, Taman Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Hanya saja, tidak banyak kabar baik terkait pertambahan populasi gajah di kawasan konservasi tersebut.

Di TNBBS misalnya, bila sebelumnya jumlah populasi diperkirakan 498 individu, kini menurun. “Diperkirakan tinggal 50-an individu. Sementara di TNKS, diperkirakan sekitar 10 individu lagi,” kata Krismanko.

Sedangkan di Taman Nasional Way Kambas, peneliti gajah sumatera dari Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP) Wulan Pusparini, tidak menyebutkan ada penambahan. Kendati hasil survei WCS pada 2002 menyebutkan perkiraan populasi gajah berjumlah 180 individu dan pada 2010 berjumlah 247 individu. “Tidak meningkat, kemungkinan stabil,” kata Wulan, Kamis (22/12/16).

Di Provinsi Bengkulu, gajah diperkirakan berada di Bengkulu Utara dan Mukomuko. Azmi dan Gunaryadi (2011) mengemukakan jumlah populasi gajah di bagian barat Bukit Barisan di Bengkulu Utara tidaklah jelas, meski diperkirakan lebih dari 100 individu.

Berkurangnya habitat mendorong gajah mendekati permukiman dan perkebunan, sehingga memicu konflik gajah – manusia yang dibarengi perburuan. Ironisnya, tidak sedikit masyarakat di Bengkulu Utara dan Mukomuko yang menyikapi konflik dengan membunuh gajah. Selain racun, upaya membunuh gajah dilakukan dengan jerat paku. “Dibunuh perlahan. Akibat terinjak paku, gajah akan infeksi yang selanjutnya sakit dan lama kelamaan mati,” kata drh. Erni Suyanti Musabine, Mantan Koordinator PLG Seblat di Kantor BKSDA Bengkulu – Lampung.

Pembunuhan gajah juga terjadi di wilayah Taman Nasional Way Kambas. “Selama 2010 – 2015, ditemukan lima individu mati. Pada 2016, dibentuk tim Smart Patrol. Hasilnya, sepanjang 2016 tidak ditemukan gajah dibunuh terkait kejahatan. Hanya satu anak gajah mati akibat konflik karena masuk sawah,” papar Wulan. Untuk penanganan konflik, WCS telah berupaya melakukan berbagai cara. Dimulai dari menyiram jus cabe di kain yang diikat di pagar, pengembangan ternak madu, penggunaan meriam kaleng, hingga pemasangan tong yang berputar.

Masa depan
Gajah sumatera merupakan ‘spesies payung’ yang mewakili keanekaragaman hayati di ekosistem habitatnya. Dalam sehari, ia mengonsumsi 150 kilogram makanan dan 180 liter air dengan areal jelajah 20 kilometer persegi per hari. Biji tanaman yang ada di kotorannya akan tersebar di wilayah jelajahnya yang pastinya sangat membantu proses regenerasi hutan.

Chairul Saleh, Species Coordinator WWF-Indonesia, saat Simposium Konservasi Kuartet Mamalia Besar Indonesia di Universitas Nasional, Jakarta, beberapa waktu lalu menuturkan, hampir 80 persen gajah sumatera hidup di luar kawasan dilindungi. Fakta lainnya adalah, dalam satu generasi atau 25 tahun, habitat gajah telah hilang seluas 70 persen dan sebanyak 50 persen populasinya lenyap.

“Berdasarkan Daftar Merah International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2011, statusnya Kritis (Critically Endangered/CR). Status ini naik satu peringkat yang sebelumnya dikategorikan Genting (Endangered/EN).”

Perkiraan jumlah gajah sumatera dan sebarannya saat ini. Sumber: WWF-Indonesia

 

Menurut Chairul, keterancaman hidup gajah sumatera merupakan indikasi terancamnya ekosistem Pulau Sumatera. Diperkirakan, jumlah gajah sumatera saat ini sebanyak 1.700 individu. Habitat yang hilang memaksa gajah masuk permukiman warga yang tak jarang berakhir dengan konflik. Kondisi ini makin lengkap dengan maraknya perburuan yang berujung pembunuhan. “Padahal, mamalia besar ini dilindungi Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan Satwa.”

Chairul mengatakan, penilaian yang salah terhadap gajah sumatera sudah sepatutnya dihilangkan. Misal, gajah merupakan sumber konflik dengan manusia. Gajah juga ‘menghambat’ proses pembangunan sehingga hanya dinilai dari status perlindungan saja. Selain itu, terbatasnya pengetahuan masyarakat akan fungsi ekologi gajah di habitat alaminya harus ditingkatkan. “Perlindungan gajah memang harus dilakukan, termasuk yang di luar kawasan lindung. Berikutnya, kita rancang tata ruang wilayah untuk habitat satwa,” paparnya.

Habitat gajah sumatera, menurut Arnold Sitompul (2011) dalam “Ecology and Conservation of Sumatran Elephants (Elephas maximus sumatranus) in Sumatra, Indonesia” (Dissertations, Paper 355), memiliki fungsi ekosistem yang kompleks dan sangat penting bagi penduduk. Bukan hanya menyediakan sumber daya penting bagi budaya lokal seperti obat-obatan tradisional atau bahan pewarna pakaian tradisional, tetapi juga makanan dan air bersih, penstabil iklim lokal, melindungi manusia dari bencana alam seperti banjir, kekeringan dan longsor, serta mencegah konflik satwa liar–manusia. “Melindungi habitat gajah artinya melindungi kehidupan manusia.”

Krismanko juga berpandangan sama. Menurutnya, mempertahankan habitat dan mengembalikan habitat yang telah dikonversi merupakan kunci konservasi gajah sumatera. Termasuk, merestorasi habitat gajah yang telah rusak. “Dengan arti kata, menyelamatkan habitat gajah sama dengan menyelamatkan kehidupan manusia, kita semua.”

Semoga, jejak peradaban mulia Bangsa Indonesia terpelihara seiring terjaganya kehidupan gajah sumatera.

Sumber : mongabay.co.id