Pulau Nusa Barong dulu pernah dikenal sebagai penghasil terbesar sarang burung walet yang diperebutkan oleh banyak negara. Namun, mengapa saat ini berubah menjadi sunyi senyap, tak ada lagi burung-burung walet yang bersarang di gua-gua tersebut? Berikut ini kisahnya.
Tak mudah memang untuk mencapai Pulau Barong. Apalagi kondisi cuaca saat ini sedang tak bersahabat. Hembasan ganasnya gelombang dari Samudra Hindia di selatan Jember, Jawa Timur, itu menyulitkan kapal motor melintas dan merapat di pulau kecil.
Sulitnya akses tersebut menjadikan Pulau Nusa Barong seolah terisolasi dari keramaian Pulau Jawa. Apakah dengan alasan itu tak ada manusia yang tertarik untuk menghuni pulau tersebut? Namun, siapa sangka, berdasarkan catatan sejarah, di masa silam Pulau Nusa Barong diwarnai oleh hiruk pikuk perdagangan sarang burung walet dari berbagai negara. Armada kapal-kapal besar hilir-mudik melintasi kawasan pesisir selatan Jawa, tak terkecuali Pulau Nusa Barong. Armada-armada niaga itu berasal dari Eropa (Belanda dan Inggris) serta Asia Timur seperti Vietnam (Campa) dan China.
Rasanya sulit dipercaya kalau saat ini di pesisir selatan Jawa hanya ada nelayan-nelayan kecil bermesin motor tempel yang cuma mampu menempuh jarak tak lebih dari 30 mil. Mereka pun baru menangkap ikan pada tahun 1980-an. Padahal, ribuan tahun silam, kawasan ini diwarnai tata niaga internasional yang sangat ramai. Sudah ribuan tahun masyarakat China percaya sarang walet sangat manjur dalam dunia medis. Mereka percaya sarang burung walet mampu mengobati penyakit asma secara manjur.
Selain itu, sarang walet juga dikenal memiliki khasiat untuk meningkatkan kekebalan (imun) tubuh. Siapa yang mengonsumsi sarang walet, niscaya tubuhnya senantiasa bugar dan sehat, tak mudah diserang aneka penyakit. Karena itulah tak mengherankan kalau pedagang China bernafsu untuk memburu sarang walet di sepanjang pesisir selatan Jawa.
Seperti diketahui, secara geologis, pesisir selatan Jawa merupakan kawasan karst (batuan kapur) yang memang memiliki ribuan gua. Sebagian besar dari gua-gua ini menjadi tempat ideal bagi sekumpulan burung walet (Collacalia) untuk bersarang.
Memperkuat Hubungan
Menurut Ahfi Wahyu Hidayat, peserta Ekspedisi Geografi Indonesia 2012, tak ada catatan sejarah sejak kapan sarang burung walet diperdagangkan melalui jaringan niaga internasional. Hanya saja, pada abad ke-13, Raja Singosari pernah mengirimkan hadiah sarang walet kepada kaisar China untuk memperkuat hubungan diplomatik di antara keduanya.
Wolter (1967) mencatat hubungan dagang China dengan Nusantara terjalin pada abad ke-3. Ketika itu arus barang dan jasa terutama obat-obatan dan resin kayu dari Tanah Air mengalir pelan-pelan ke jaringan niaga Asia Timur melalui laut. Dugaan perdagangan sarang walet tersebut diperkuat dengan hipotesis para arkeolog yang meneliti aktivitas manusia di kawasan karst Gunung Kidul. Ketika itu masyarakat lokal tak memiliki tradisi pengobatan dengan menggunakan sarang walet. Sebaliknya dengan tradisi pengobatan ala China. Mereka percaya, sarang walet mengandung unsur alami yang mampu menangkis dan melawan aneka penyakit. Berdasarkan kondisi inilah terjalin pola niaga yang saling menguntungkan: warga pribumi memanen dan menjual, warga China membelinya.
Pola niaga itu berubah total ketika sarang walet dijadikan komoditas politik. Ketika itu, penguasa Blambangan, Pangeran Adipati Danuningrat, minta bantuan VOC agar dapat melepaskan pengaruh Kerajaan Mengwi, Bali. Sebagai imbalannya, VOC mendapatkan hasil sarang walet dari daerahnya. “Namun bantuan politik ini justru mengundang VOC ikut campur tangan lebih jauh dalam menguasai sumber daya alam Kerajaan Blambangan,” ujar Ahfi. Setelah Blambangan runtuh, VOC malah mendirikan tiga pos militer untuk mengamankan komoditas sarang walet. Ketiga pos yang tersebar di Teluk Grajakan Alas Purwo, Pulau Nusa Barong, dan Pulau Sempu itu menjadi penghubung jalur niaga sarang walet di pesisir selatan Jawa seperti di Pacitan dan Karang Bolong.
“Jalur inilah yang sejak abad ke-18 menjadi wilayah pertarungan niaga antara para pedagang Nusantara, China, Inggris, dan VOC,” tutur dia. Menurut hitungan VOC, nilai ekonomi dari perniagaan sarang walet tersebut mencapai 2.900 real dalam setahun. Angka tersebut berasal dari perdangan sarang walet dari Nusa Barong, Malang, Lumajang, Sabran, dan beberapa distrik di Jawa Timur. “Sebelum VOC masuk, Nusa Barong menorehkan rekor sebagai penghasil sarang walet terbesar yang diekspor ke China,” jelasnya.
Degradasi Potensi
Sejak intervensi VOC ke Nusa Barong, produktivitas sarang walet terus melorot tajam. Hal itu disebabkan pola pengambilan sarang secara berlebihan. “Nusa Barong menjadi titik pertarungan dan penguasaan bagi para bajak laut, pedagang Nusantara, dan VOC. Mereka saling memperebutkan sarang walet,” ungkap Ahfi. Jadi, jangan kaget, jika pada tahun 1772 Nusa Barong dihuni oleh banyak pendatang. Tercatat ada sekitar 1.000 orang yang berasal dari Jawa, Bali, Bugis, Sumbawa, Wajor, Melayu, dan Manggar. Sebagian dari mereka bertani lahan kering, menanam padi, kapas, kelapa, buah, dan pinang.
Fenomena ini malah mengundang kapal-kapal pedagang dan bajak laut datang mencari sarang walet. VOC pun segera bertindak. Pada tahun 1779 mereka segera mengosongkan Nusa Barong untuk mencegah agar para bajak laut dan pedagang Nusantara tak datang lagi. Dengan strategi tersebut, mereka berharap sistem perdagangan VOC tak terganggu. Aneka cara dipakai untuk mengosongkan pulau tersebut. Kolonialis itu membakar gua-gua yang dihuni walet.
Tak hanya itu, ke dalam gua-gua juga dimasukkan belerang untuk menghalau burung walet agar tak lagi bersarang di sana. Langkah ini memang terbukti berhasil. Sejak saat itulah tak ada lagi sekawanan burung walet yang sudi bersarang di sana. Setelah sekian lama, VOC ingin mengembalikan kejayaan Nusa Barong sebagai penghasil sarang walet. Namun, usaha itu sia-sia belaka. Beberapa armada laut yang dikirimkan dengan membawa para ahli nyatanya tak mampu mengembalikan ke kondisi seperti semula.
Gua sudah terkontaminasi oleh belerang sehingga burung walet tak sudi bersarang kembali,” jelas Ahfi. Bahkan sampai sekarang pun, tak ada lagi burung walet yang bersarang di gua-gua Pulau Nusa Barong. Nusa Barong telah memberi pengalaman berharga bagi kita semua. Ketika ekosistemnya dirusak maka alam pun bakal bereaksi untuk membalasnya. Jadi, mari kita jaga alam semesta ini agar memberi manfaat bagi seluruh penghuni Bumi.
Permadani Hutan di Nusa Barong Masih Perawan
Secara keseluruhan, hutan di Pulau Nusa Barong masih terjaga dengan sangat baik. Hanya ada sedikit degradasi di sebelah utara pulau yang mulai tampak terbuka. Meskipun kita belum dapat menjejakkan kaki di Pulau Nusa Barong, Anda masih tetap dapat menikmati keelokannya melalui teknologi penginderaan jauh (inderaja atau remote sensing). Ada banyak cara untuk memandang keelokan Nusa Barong yang ditetapkan sebagai Cagar Alam sejak tahun 1920 itu.
Pulau karst (batuan kapur) berukuran kecil dan tak berpenghuni itu, berdasarkan pemantauan dari Satelit Landsat tampak seperti teripang. “Penutup lahannya masih berupa hutan primer (alami) yang masih perawan (virgin forest),” ujar Prof Dr Aris Poniman, pakar inderaja dari Badan Informasi Geospasial (BIG).
Secara keseluruhan, hutan di Pulau Nusa Barong masih terjaga dengan sangat baik. “Yang perlu diwaspadai adalah ada sedikit degradasi di bagian utara pulau yang mulai tampak terbuka,” ungkap Aris. Kondisi masih asrinya vegetasi di pulau tersebut bisa jadi karena pulau itu tidak berpenghuni dan jarang dikunjungi pendatang lantaran ganasnya ombak di Samudra Hindia. Selain itu, Pantai Nusa Barong yang terjal disertai gelombang laut tak bersahabat menjadi penghalang bagi manusia untuk mendekati pulau tersebut.
Fenomena tersebut di satu sisi menguntungkan bagi upaya konservasi ekosistem di Pulau Nusa Barong. Sebab, dengan demikian, hutan alami itu tak dirusak oleh tangan-tangan jahil yang kerap tergoda oleh keelokan alam.
Menurut geolog asal Belanda, Van Bemmelen (1949), Pulau Nusa Barong, yang terletak di selatan Puger, merupakan pulau kecil yang terpisahkan dari Pegunungan Selatan Pulau Jawa yang berujung di Semenanjung Blambangan. Semula, selama ribuan tahun silam, Nusa Barong menyatu dengan Pulau Jawa. Namun, ganasnya gelombang Samudra Hindia yang terus menghantam daratan utama Pulau Jawa yang diperparah dengan tumbukan antarlempeng samudra dan benua, Nusa Barong seolah terpencil dan terisolasi dari pulau induknya, Jawa. Masih banyak misteri yang belum terkuak di pulau legendaris yang pernah menorehkan sejarah masa lalu.
Sebagaimana dituliskan oleh Adnan Aribowo, Polisi Kehutanan di Seksi Konservasi Wilayah V Banyuwangi