Dua Hari yang Mengubah Cara Kita Menilai Masa Depan Hutan dan Satwa Liar Bawean

Share

Pulau Bawean kembali menjadi panggung utama konservasi Jawa Timur ketika dua kawasan pentingnya, Cagar Alam Pulau Bawean dan Suaka Margasatwa Pulau Bawean, melalui proses penilaian efektivitas pengelolaan (METT) selama dua hari berturut-turut, 27–28 November 2025. Hasilnya membuka jendela baru tentang seberapa tangguh kawasan ini menghadapi ancaman, tekanan ruang, dan perubahan iklim, sekaligus menggambarkan bagaimana masa depan konservasi sangat ditentukan oleh keterlibatan masyarakat.

Kegiatan METT Versi 4.4 yang digunakan pada kedua kawasan menunjukkan angka yang optimistis namun tetap mengisyaratkan pekerjaan besar di depan mata. CA Pulau Bawean meraih skor 69,30%, sementara SM Pulau Bawean mencatat 67,50%, keduanya masuk dalam kategori pengelolaan efektif. Angka ini menjadi baseline resmi pertama untuk penilaian kawasan pada tahun 2025, sekaligus pijakan strategis bagi rencana peningkatan fungsi kawasan di tahun-tahun berikutnya.

Penilaian berlangsung di Kantor Resort Konservasi Wilayah (RKW) 10 Pulau Bawean dan dihadiri oleh unsur pemerintah daerah, aparat keamanan, perguruan tinggi, LSM, kelompok tani hutan, hingga mahasiswa magang yang berkontribusi dalam diskusi terbuka mengenai ancaman kawasan. Sebanyak 62 butir penilaian ancaman dan 38 indikator kinerja pengelolaan dibedah secara kolektif. Fasilitator memandu dinamika yang intens namun produktif, memastikan setiap suara dari desa-desa sekitar kawasan, dari Sukaoneng hingga Diponggo, menjadi bagian dari keputusan akhir.

Namun angka-angka itu juga menyingkap beberapa celah yang perlu segera dijembatani. Di CA Pulau Bawean, sejumlah indikator strategis memperoleh skor rendah, prakondosi kawasan yang perlu dipertegas, urgensi adaptasi terhadap perubahan iklim, perlindungan stok karbon, hingga pendidikan konservasi bagi masyarakat yang belum berjalan optimal. Sementara pada SM Pulau Bawean, satu persoalan besar muncul dari masyarakat, ketika tata batas kawasan yang kurang jelas. Banyak pal batas hilang atau rusak, dan hingga kini baru 5 km dari total 120 km batas kawasan yang selesai direkonstruksi. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian ruang dan mempengaruhi hubungan antara kawasan dan lahan masyarakat.

Meski demikian, dukungan masyarakat Bawean tetap menjadi fondasi paling kokoh dalam proses ini. Camat, Polsek, Koramil, KTH, hingga LSM Konservasi Bawean hadir bukan hanya sebagai tamu, tetapi sebagai mitra yang memahami bahwa masa depan pulau ini hanya dapat dijaga bersama.

Dengan ditetapkannya hasil penilaian pada masing-masing kawasan, METT Bawean tidak sekadar menjadi administrasi. Ia adalah cermin, yang memantulkan tantangan, kekuatan, dan peluang. Bawean mengingatkan kita bahwa konservasi bukan hanya tentang menjaga hutan dan satwa liar, tetapi juga merawat harmoni antara alam dan manusia yang hidup berdampingan di dalamnya.

Dan justru dari pulau di Tengah Laut Jawa inilah, Jawa Timur mendapatkan kembali pelajaran penting, bahwa efektivitas pengelolaan kawasan bukan sekadar angka, melainkan komitmen yang harus diperbarui setiap hari.(dna)

Sumber: Bidang KSDA Wilayah 2 Gresik – Balai Besar KSDA Jawa Timur