Daud Badu, Dari Pemburu Jadi Pelestari Maleo

Share

KOMPAS.com – Sebelum Januari 2012, Daud Badu (44) dikenal sebagai pemburu telur dan burung maleo (Macrocephalon maleo) di Cagar Alam Panua, Kecamatan Paguat, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Dengan kelebihan langka yang dimilikinya, warga Desa Maleo, Kecamatan Paguat, itu belakangan ini justru menjadi pelindung dan pelestari maleo.


Daud punya kelebihan yang jarang dimiliki orang lain. Dia bisa menebak sarang maleo yang berisi telur. Mungkin hanya sedikit orang yang punya keahlian seperti itu. Pasalnya, burung endemik Sulawesi yang bertelur di tanah itu tak hanya membuat satu lubang galian untuk meletakkan telurnya, tetapi ada dua sampai tiga sarang palsu untuk mengelabui pemangsa. Di Cagar Alam Panua, maleo memilih bertelur di pantai pasir putih Teluk Tomini.

Hari Minggu (17/2/2013), Daud berjalan menyusuri lokasi peneluran maleo di pantai Teluk Tomini yang termasuk kawasan Cagar Alam Panua. Berjalan di sela-sela puluhan sarang maleo di pantai itu, ia berhenti pada salah satu sarang. Tangannya menggali pasir sampai kedalaman 50-60 sentimeter. Beberapa saat kemudian, tangan kanannya menggenggam sebutir telur maleo berusia sekitar empat hari.

Tak hanya jago menentukan sarang maleo yang berisi telur, Daud juga paham membaca jejak di atas pasir. Ia bisa tahu apakah itu jejak maleo, burung gosong, babi hutan, anjing, atau satwa pemangsa lain. Bahkan ia juga bisa memprediksi berapa usia jejak itu. Selain maleo, burung gosong (Eulipoa wallacei) juga bertelur di lokasi yang sama.

”Jejak kaki burung gosong dan maleo itu mirip, tetapi bisa dibedakan. Saya mempelajari semua ini dari ayah saya, sejak masih kecil,” kata Daud. 

Jejak sang ayah


Daud diperkenalkan dengan satwa di sekitar kawasan yang kini menjadi Cagar Alam Panua oleh sang ayah, Gordon Badu (meninggal pada 2004) yang dikenal sebagai pemburu telur dan burung maleo ulung. Pada 1980-an jumlah maleo terbilang banyak, telur maleo pun melimpah.

Gordon Badu mencari telur maleo untuk dijual dan dikonsumsi sendiri. Pada saat itu, harga sebutir telur maleo sekitar Rp 2.500. Permintaan telur maleo terbilang tinggi karena masyarakat menganggapnya bisa menyembuhkan penyakit. Sesekali sang ayah juga menangkap maleo untuk dijadikan lauk.

Nyaris setiap hari mengikuti ayahnya berburu maleo, membuat Daud kecil secara langsung menyerap ”ilmu” sang ayah. Bahkan, hingga kini Daud masih kerap dihubungi orang yang berniat membeli telur maleo. Kini, harga sebutir telur maleo mencapai Rp 250.000.

”Sejak saya diperbantukan di Cagar Alam Panua oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Gorontalo, saya tidak lagi berburu dan menjual telur maleo kepada siapa pun,” katanya.

Daud tidak tergoda iming-iming harga telur maleo yang tinggi. Bahkan, saat istrinya hamil anak ketiga dan mengidam telur maleo, Daud tak mengabulkannya. Permintaan sang istri tak mampu meruntuhkan tekad Daud untuk menjaga kelestarian burung langka asli Sulawesi ini.

”Saya katakan kepada istri, jika telur maleo saya berikan, apa dia rela kalau saya dipecat kantor BKSDA yang sudah mempekerjakan saya? Istri bisa memahami sikap saya,” cerita Daud.

Direkrut

Cerita tentang direkrutnya Daud untuk membantu pelestarian maleo di Cagar Alam Panua, disampaikan Kepala Resor Panua Tatang Abdullah. Kata dia, dengan luas kawasan cagar alam sekitar 36.000 hektar, pihaknya kewalahan mengawasi area tersebut. Apalagi jumlah petugas pun tidak memadai.

”Hanya saya seorang yang bertugas di Panua. Tentu saja saya kewalahan. Kantor lalu mengizinkan untuk merekrut empat orang dari warga sekitar cagar alam. Tugas mereka adalah membantu pengawasan dan pelestarian di Cagar Alam Panua,” ucap Tatang.

Daud termasuk satu dari empat orang yang terpilih, meskipun dia sebetulnya tidak memenuhi kriteria. Pasalnya, Daud sama sekali tidak mengenyam pendidikan sekolah. Daud sempat nyaris tersisih sebagai tenaga kontrak di Cagar Alam Panua, tetapi Tatang bersikeras. Kepada pimpinan BKSDA, Tatang beralasan bahwa Daud memiliki keahlian mencari telur maleo.

Jadilah sebagai ”ujian masuk” menjadi tenaga kontrak, Daud dites oleh pihak BKSDA. Tes itu terbilang sederhana, Daud diminta mencari sarang maleo yang berisi telur. Tes dilakukan di lokasi peneluran maleo di Cagar Alam Panua. Dengan mudah Daud menunjukkan sarang-sarang maleo yang berisi telur. Saat digali, tebakan Daud tak ada yang keliru.

Mulai Januari 2012, Daud yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan memiliki tugas tambahan sebagai pengawas dan pelestari maleo di Cagar Alam Panua. Setiap pagi dan sore, ayah tiga anak itu bertugas memeriksa sarang-sarang maleo dan sarang gosong di lokasi peneluran.

Jika ditemukan, telur-telur itu lantas dipindah ke sarang buatan yang lebih aman dan terlindungi dari ancaman pemangsa seperti biawak, babi hutan, atau ular.

”Selain saya tutupi dengan dedaunan kering, di sekitar sarang buatan itu saya siram air seni agar tidak didekati babi hutan. Tak ada lagi pencurian telur yang dilakukan babi hutan atau biawak di sarang buatan,” katanya.

Sejak terlibatnya Daud, populasi maleo di Cagar Alam Panua dipastikan bertambah. Sepanjang tahun 2012, ia berhasil menyelamatkan 150-an butir telur maleo. Dari jumlah itu, hampir 100 butir yang menetas lalu dilepas ke alam. Jika tidak diselamatkan, banyak telur maleo yang akan dimakan pemangsa. Belum lagi telur yang gagal menetas akibat suhu tanah yang tak menentu.

Menurut Staf Senior Program Wallaceae pada organisasi Burung Indonesia di Gorontalo, Amsurya Warman, gangguan terhadap kelestarian maleo di Gorontalo terus terjadi. Ancaman itu datang dari pemangsa dan akibat tindakan manusia yang merusak keseimbangan habitat maleo.

Contohnya adalah penebangan hutan atau alih fungsi hutan. Penebangan hutan di Gorontalo dari tahun ke tahun semakin mempersempit ruang gerak maleo.

”Maleo dikenal sebagai hewan yang sensitif terhadap semua aktivitas di sekitar habitat mereka. Jika ada gangguan, mereka akan pergi dan pindah mencari habitat baru. Padahal, degradasi hutan, semakin mempersempit habitat mereka di Gorontalo,” kata Amsurya.

Maleo memerlukan tempat bertelur dengan suhu tanah sekitar 32-34 derajat celsius. Burung ini bertelur setelah mencapai usia tiga tahun dan dalam setahun bisa bertelur sebanyak 10 butir. Maleo mengubur telurnya pada kedalaman 50-60 sentimeter dan menetas sekitar 60 hari kemudian. Dalam kurun 15 tahun terakhir, diperkirakan populasi maleo di Gorontalo berkurang dari 25.000 ekor menjadi 10.000 ekor.