Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun lalu merupakan salah satu yang terparah sepanjang sejarah. Namun, hanya dalam hitungan bulan, kebakaran kembali melanda dan status darurat telah diberlakukan di satu provinsi.
Antara Juni hingga Oktober 2015, lebih dari 100.000 kebakaran melahap jutaan hektare hutan di Indonesia. Korban meninggal dunia, baik manusia maupun hewan, telah berjatuhan. Dampak ekonominya pun diperkirakan mencapai lebih dari US$15 miliar atau setara Rp196 triliun.
Lebih dari 20 tahun, kebakaran hutan dan lahan seperti menjadi acara tahunan bagi para petani dan perusahaan yang ingin membuka hutan dan lahan gambut demi bubur kayu, minyak sawit, karet, atau peternakan skala kecil.
Namun, perlahan tapi pasti, pembakaran ini semakin parah. Tahun lalu, sebagian Indonesia dan sejumlah negara di Asia Tenggara diselimuti asap beracun selama berminggu-minggu.
Sebanyak setengah juta orang dirawat di rumah sakit akibat asap kala itu. Diperkirakan pula bahwa selama lima bulan tersebut, sekitar 1,7 miliar ton karbon—atau setara dengan yang diproduksi Brasil selama setahun—dilepaskan ke atmosfer. Indonesia berjanji akan berupaya lebih keras untuk mencegah kebakaran terulang pada 2016.
Nyatanya, kebakaran terulang. Di Provinsi Riau, status darurat diberlakukanlantaran kebakaran terjadi di sejumlah kabupaten. Lalu, apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia?
Apa penyebab kebakaran?
Pemerintah Indonesia memiliki mayoritas hutan. Untuk memanfaatkannya, hak konsesi pun diberikan kepada beberapa perusahaan besar dan petani skala kecil.
Pada era 1980-an, membakar hutan untuk membuka lahan pertanian diperbolehkan pemerintah dan kini Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat deforestasi tertinggi dunia.
Akan tetapi, selama dua dekade terakhir, pembakaran untuk membuka lahan diatur undang-undang. Hanya pembakaran di bawah dua hektare lahan yang diperbolehkan.
Hal ini membuka celah bagi perusahaan-perusahaan besar. Mereka diduga membayar petani-petani kecil untuk memanfaatkan lahan konsesi—kadang-kadang hanya dengan upah rokok dan baju–dan meminta petani-petani itu membuka lahan tersebut.
Bagaimana Indonesia menangani kebakaran hutan di masa lalu?
Membawa perusahaan-perusahaan dan para petani kecil yang diduga bertanggung jawab atas aksi pembakaran hutan dan lahan ke meja hijau merupakan tantangan berat. Industri kehutanan pun sering disebut-sebut sarat dengan korupsi.
Kepada BBC, tahun lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan dia telah melakukan sejumlah aksi untuk menangani kebakaran hutan dan lahan, termasuk mengerahkan lebih dari 10.000 polisi dan tentara serta pesawat pengebom air.
Jokowi juga berjanji akan melarang izin usaha di lahan gambut dan akan mengembalikan fungsi lahan-lahan gambut itu. Menurutnya, diperlukan tiga tahun sebelum dunia bisa melihat perkembangan signifikan yang dilakukan pemerintahannya untuk menangani kebakaran hutan.
Di lapangan, janji Jokowi bisa dipegang. Henry Purnomo, ilmuwan dari Centre for International Forestry Resarch (Cifor), melihat pemerintah Indonesia melakoni upaya pencegahan kebakaran terbaik saat kebakaran mulai terjadi tahun ini.
Menurutnya, kendati kebakaran tidak terlalu besar, “kita perlu bergerak cepat mengatasi kebakaran yang terjadi sekarang.”
Apa yang dilakukan pemerintah saat ini?
Henry Purnomo mengatakan para pegiat lingkungan kini berada di lapangan untuk merehabilitasi 600.000 hektare lahan gambut. Target mereka, sebanyak dua juta hektare lahan gambut bisa direstorasi dalam tahun mendatang.
“Ada banyak tugas penting yang dilakukan baik pemerintah maupun sektor swasta, termasuk perusahaan-perusahaan raksasa dan perusahaan kayu. Mereka mencoba bekerja sama,” ujarnya.
Henry menambahkan, Presiden Jokowi telah mengatakan akan mengganti pejabat kepolisian di daerah jika kebakaran masih berlanjut di daerah mereka.
Pada Desember 2015, Indonesia mengumumkan lebih dari 50 perusahaan akan dihukum atas peran mereka dalam kebakaran hutan. Penyelidikan lebih lanjut pun dilakukan saat itu.
Namun, beberapa pekan kemudian, PN Palembang menolak gugatan perdata senilai Rp7,9 triliun dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Bumi Mekar Hijau seluas 20 ribu hektar pada 2014. Majelis hakim menyatakan tak melihat ada dampak kebakaran hutan pada rusaknya ekosistem, bahkan mengutip ahli yang mengatakan tak terjadi kerusakan karena lahan tetap bisa ditanami oleh akasia.
Atas putusan itu, pemerintah menyatakan banding. Pemerintah Indonesia pun masih menyelidiki perusahaan-perusahaan yang diduga terlibat pembakaran hutan.
Sejalan dengan upaya penyelidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)mendesak segenap instansi pemerintah daerah untuk membantu pencegahan dan melaporkan tindakan ilegal kepada aparat.
Masalahnya, kata Dian Patria selaku direktur riset dan pengembangan KPK, tantangan terbesar adalah tiada pihak yang sudi memikul tanggung jawab untuk masalah yang sudah berlangsung berpuluh tahun.
“Tata kelola dan manajemen kehutanan yang buruk, berdasarkan kajian kami, telah berlangsung 12 tahun terakhir. Namun, semua orang mengatakan itu adalah kesalahan menteri sebelumnya atau gubernur sebelumnya,” kata Dian Patria.
“Ada banyak pemangku kepentingan, pemerintah daerah, pejabat publik, dan penerima hak konsesi. Mereka mestinya bekerja sama dengan kami dan memecahkan permasalahannya saat ini. Sektor swasta, khususnya, harus bertanggung jawab. Banyak dari perusahaan-perusahaan itu berbasis di Singapura dan Malaysia, bukan hanya perusahaan Indonesia,” tambahnya.
Apa lagi yang bisa dilakukan?
Peter Holgrem, ketua Cifor, mengaku pihaknya tengah mengembangkan program-program jangka panjang untuk memperbaiki situasi. Namun, tiada solusi cepat dan mudah.
“Ini bukan masalah memadamkan kebakaran hari ini. Ini masalah bagaimana lahan digunakan, bagaimana praktik pertanian, dan bagaimana kesempatan untuk kehidupan masyarakat berkembang,” ujarnya.
Holmgren, yang tinggal di Indonesia dan bekerja untuk pemadaman kebakaran dan riset kehutanan di 45 negara, juga mengatakan bahwa solusinya bukanlah sekedar memberi bantuan kepada Indonesia atau ke petani miskin.
“Ini jelas semata-semata mengenai kebijakan domestik dan regulasi domestik. Ada banyak kejadian berlangsung karena terdapat investasi dalam pengubaan lahan dan pembangunan. Lalu investasi-investasi berinteraksi dengan institusi keuangan internasional dalam berbagai cara,” ujarnya.
“Jadi mungkin ada peluang untuk melihat bagaimana sistem keuangan internasional membuat aturan sendiri. Lalu melihat pula seputar investasi yang dilakukan lembaga-lembaga internasional,” sambungnya.
Target jangka pendek dan panjang
Sejumlah pakar kehutanan dan pemadam kebakaran mengatakan salah satu dari masalah terbesar yang dihadapi Indonesia adalah minimnya pengetahuan petugas pemadam, terutama di tingkat daerah.
Padahal, menurut Tony Bartlett yang merupakan pakar pencegah kebakaran, kebakaran hutan harus cepat dideteksi dan direspons “oleh orang yang terlatih dengan baik, terkelola dan terkoordinasi dengan baik, dan bisa menangani bebragai tipe kebakaran hutan.”
Dia memberi contoh kebakaran di lahan gambut.
“Sangat sulit memadamkan api di lahan gambut. Jika dibandingkan (dengan lahan gambut), kebakaran hutan tampak mudah,” ujarnya.
Bartlett, yang bekerja untuk lembaga Pusat Penelitian Pertanian Internasional di Australia (ACIAR), berpendapat masalah kebakaran hutan di Indonesia jauh lebih dalam dari sekadar kebakaran.
“Targetnya adalah kemiskinan. Targetnya adalah pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan hijau yang inklusif. Targetnya adalah keamanan pangan. Jika masalah (kebakaran) ini dianggap masalah tersendiri dan digambarkan sebagai masalah perubahan iklim, maka itu yang akan didengar semua orang. Targetnya akan luput,” tandas Bartlett.
Sumber : www.bbc.com