”Sekarang kami sudah merdeka. Di Boyolali sudah ada dua desa yang merdeka. Kami mendapat IPHPS, kami tak lagi terjajah,” kata Jundy Wasonohadi, pendamping kelompok tani Desa Gondanglegi dan Wonoharjo, Boyolali, Jawa Timur, saat memberikan curahan hati di depan Menteri Siti Nubaya, dalam acara rencana aksi implementasi perhutanan sosial untuk pemerataan ekonomi di Jakarta, pekan lalu.
Jundy mengatakan, kelompok tani mereka sudah usulkan luasan wilayah 900 hektar buat 670 keluarga, hanya 33 hektar atau 59 keluarga dapat wilayah kelola. Saat kunjungan Presiden Joko Widodo 4 November 2017, bertambah jadi 433 hektar untuk 403 keluarga.
Meski demikian, kelompok tani mereka masih bingung. ”Kami tak bisa sampaikan karena yang kami garap itu hanya jagung. Lahan-lahan yang kami ajukan, sebagian sudah ditanami Perhutani.”
Kelompok tani yang Jundy wakili, adalah dua dari 22 kelompok dan lembaga masyarakat desa hutan yang mendapatkan izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, baru-baru ini. Mulai 1 November, Presiden road show ke 22 wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, buat memberikan izin-izin ini.
Presiden menyerahkan izin-izin kelola warga ini di Muara Gembong, Bekasi (1 November 2017), Probolinggo (2 November 2017), Boyolali (4 November 2017), dan Madiun (6 November 2017).
Per November ini, capaian perhutanan sosial 1.092.758,4 hektar, 9.550,15 hektar atau 5.915 keluarga di Jawa, pakai skema IPHPS. Sisanya, dengan skema hutan adat, kemitraan, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan dan hutan desa.
Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, penyerahan IPHPS ini langkah nyata Pemerintahan Jokowi. Setelah beri izin, ada sesi petani bercerita, bertukar pikiran, informasi terkini dan situasi di lapangan. Selanjutnya, akan ada pembahasan rencana kerja usaha sesuai potensi masing-masing.
Petani antusias memberikan paparan dan curahan hati soal kendala lapangan. Ada soal izin belum mencakup keseluruhan petani, pembalakan liar, sampai keluhan modal.
”Soal pembiayaan, kami ada KUR (kredit usaha rakyat-red) sifatnya sampai lima bulan, bisa dipinjam untuk jagung, untuk tanaman lain sulit, misal, untuk coklat dan porang,” kata Agus Purwanto, Kelompok Tani Budi Waluyo, Desa Dungus, Madiun.
Senada Sujoko Kelompok Tani Berani Wetan, Probolinggo, yang terhambat menanam sengon karena tak punya pinjaman.
”Ini akan musim hujan, banyak penggarap bikin lubang untuk menanam sengon.” Dia juga khawatir soal ketidakpercayaan bank kepada petani dan Perhutani.
Siti bilang, petani yang mendapatkan izin kelola ini dapat prioritas KUR. Bunga tahun ini 9%, 2018 KUR petani turun jadi 7%.
”Kita berikan tenggang waktu dua minggu untuk seluruh proses verifikasi, hingga petani bisa segera mengajukan KUR dan segera menanam,” katanya.
Siti mengajak kementerian dan lembaga lain dan BUMN, seperti Perhutani, Kementerian Pertanian, Kementerian BUMN dan bank hadir.
Dia berharap, tak hanya permodalan bisa teratasi, hasil tani wargapun bisa mendapatkan pasar.
Warga juga menceritakan soal pembalakan liar masih terjadi. Marsudi, Desa Nganduk, Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wonoreso, Madiun, masih ada penghalang dalam mengelola hutan lestari karena beragam masalah seperti pembalakan liar, bakar ilegal dan perburuan ilegal.
Marsudi mencari cara agar berbagai masalah itu bisa dikurangi. Dia coba tawarkan kerjaan lain, misal, mengajak mereka mencari kayu bakar, menanam ketela dan jagung dan bergabung dalam lembaganya. Persoalan lain muncul kala panen harga anjlok dan bikin lesu petani.
Kelompok Marsudi juga membuat peternakan terpadu antara sawah dan piara ternak. Biasa, katanya, usai panen banyak jerami yang bisa bermanfaat bagi pangan bergizi ternak.
Upaya lain, lewat pemanfaatan bendungan kecil sebagai pemancingan alam. Sayangnya, karena keterbatasan orang yang menangani, kegiatan-kegiatan itu tak berlanjut.
Lain cerita Kelompok Tani Budi Waluyo, Desa Dungus, Madiun. Mereka berencana membuat Dungus Forest Park sebagai destinasi ekowisata baru di desa mereka bersama dengan Perhutani. Dari LMDH Mekar Jaya, Karawang, yang punya potensi jeruk dan pisang meminta pengerasan jalan menuju kebun.
Banyak potensi dan rencana kerja yang dibawa para petani dari wilayahnya masing-masing. Harapannya sama mendapatkan kesejahteraan dan kepastian akses lahan mereka untuk tetap produktif.
Siti mendengarkan antusias dan menanggapi keluhan warga. ”Saya minta tolong jangan lagi ada yang tertinggal. Pak Presiden minta ke saya bagaimana supaya masyarakat bisa punya harapan dan optimis,” katanya.
Lahan potensi
Menurut Siti, di Pulau Jawa, ada potensi 400.000 hektar lahan mendapatkan akses perhutanan sosial melalui IPHPS, 260.000 hektar di Jawa Timur, 180.000 hektar Jawa Barat, 60.000 hektar Jawa Tengah.
Tantangan terbesar perhutanan sosial, katanya, adalah lahan yang sebagian besar di daerah konflik. ”Kita tak hanya masuk di areal kosong juga konflik.”
Dia berharap, pendamping dan evaluator bisa jadi mesin penggerak, hingga tujuan program ini tercapai dalam kesejahteraan rakyat petani.
Siti meminta, setiap kelompok tani perlu mengetahui hal-hal prinsip, misal, rencana kerja zonasi dan menyusun rencana kerja dalam petakan-petakan. Nantinya, dalam petakan dihitung potensi distribusi lahan. ”Saya minta kelipatan 0,25 hektar, antara 1-2 hektar.”
Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan mengatakan, ada pembahasan dan pembentukan rencana kerja sesuai dengan potensi masing-masing wilayah yang bermanfaat ekonomi dan lestari.
”Izin ini sampai 35 tahun, setidaknya ada rencana pemanfaatan 10 tahun ke depan,” katanya, mulai dari pembibitan hingga pemasaran.
Noer Fauzi Rachman, Staf Khusus Utama Kepala Kantor Staf Kepresidenan menjelaskan, hutan sosial dapat tercipta jika petani mendapatkan kemerdekaan dari penguasaan lahan. Adapun dalam pengelolaan tanah itu ada kesepakatan bersama dalam tata guna lahan dari waktu ke waktu.
”Sistem produksi jangan eksploitatif, pendamping posisinya menjembatani.”
Sumber : mongabay.co.id