Burung Sensitif Terhadap Perubahan Iklim

Share

Burung merupakan makhluk penting yang mampu menandai adanya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Peneliti dari Research Center for Climate ChangeUniversitas Indonesia, Nurul Winarni, coba menjabarkan vitalnya peran burung sebagai indikator perubahan iklim tersebut. Menurut Nurul, burung sangat sensitif jika terjadi perubahan di lingkungannya.

“Ini disebabkan burung punya keterkaitan tertentu pada habitat yang cukup spesifik atau pada sumber makanan tertentu. Banyak jenis pohon buah atau serangga yang jadi sumber pakannya juga dipengaruhi iklim,” ujarnya.

Terjadinya perubahan pasokan makanan, hal ini juga akan mempengaruhi burung. Nurul mencontohkan bagaimana bergesernya tempat-tempat sumber pakan yang tersedia. Pada daerah beriklim subtropis, kata pengajar biologi konservasi ini, biasanya akan sangat mudah diamati terjadinya perubahan ini karena perbedaan suhu antarmusim yang cukup jelas. “Ini bisa diamati dari respon distribusi burung yang menghindar dari daerah-daerah yang suhunya makin panas. Sturktur komunitas, biasanya juga turut berubah karenanya.”

Para peneliti, kata Nurul, biasanya mengamati dalam jangka waktu panjang (long-term monitoring). Ini untuk memastikan bahwa respon memang disebabkan karena iklim yang berubah, bukan karena faktor lain.

Pengamatan yang cukup mudah dilakukan adalah dengan mengamati lokasi-lokasi perlintasan burung migrasi dan mencatat waktu kedatangan serta jumlahnya. Dengan mencatat berkala lokasi tersebut, akan terlihat apakah waktu kedatangannya dari tahun ke tahun mengalami pergeseran atau tidak. Analisa ini juga, bisa ditambah dengan data stasiun meteorology terdekat untuk melihat apakah perubahan suhu atau curah hujan berpengaruh.

Beberapa lembaga bergandeng tangan melakukan kerja sama untuk memantau perpindahan burung tersebut. Sebut saja East Asian Australasian Flyway Partnership (EAAFP) dan Wetlands International. Salah satunya, dengan memonitor burung-burung migran yang ditandai.

Dari penelitian dan monitoring itu, menurut Nurul, akan diperoleh sejumlah temuan, mulai perpindahan atau hilangnya spesies tertentu. Respon juga dapat berupa pergeseran waktu migrasi (menunda atau mempercepat) hingga tidak melakukan migrasi sama sekali. Atau juga berpengaruh pada musim berbiak yang bergeser hingga telur menetas lebih cepat. “Saat telur menetas lebih cepat, kadang makanan belum tersedia sehingga menimbulkan kekurangan pakan atau lebih banyak persaingan untuk mendapatkan pakan.”

Pada burung migran serta burung-burung pantai lainnya, perubahan habitat juga sangat berdampak pada kehidupan mereka. Misalnya, lokasi-lokasi yang dahulu menjadi daerah persinggahan atau tempat mencari makan, sekarang berubah menjadi permukiman. Menurutnya, harus ada upaya bersama dalam melindungi satwa terhadap perubahan iklim. “Sebagai salah satu negara penyumbang emisi karbon, perlindungan hutan dari deforestasi sangat penting. Karena hutan selain sebagai habitat dan sumber pakan satwa, juga merupakan penyerap karbon.”

Migrasi

Migrasi merupakan perjalanan ribuan kilometer setiap tahun yang dilakukan kelompok burung migran yang terdiri dari burung laut, burung pantai, dan burung hutan guna mencari habitat yang sesuai untuk kehidupan mereka. Saat musim dingin melanda belahan bumi di Utara, burung-burung migran ini tebang ke Selatan, dan ketika di Utara udara kembali menghangat, burung-burung ini kembali untuk berbiak.

Pengembaraan jauh penuh marabahaya ini harus dilakukan dua kali dalam setahun. Petualangan tersebut, menurut Yus Rusila Noor dari Wetlands International-Indonesia Programme, merupakan pertaruhan hidup melelahkan demi menyambung kehidupan dan keturunan mereka. “Banyak yang tak bisa menyelesaikan perjalanannya karena lokasi tujuan untuk mencari makan telah hilang atau berubah fungsi,” ujarnya.

Indonesia sebagai salah satu negara yang dilewati burung air bermigrasi di jalur terbang Asia Timur – Australasia, memiliki peran penting dalam pelestarian burung ini. “Beberapa lokasi di Pantai Timur Sumatera, Pantai Utara Jawa dan Nusa Tenggara, Sulawesi dan Papua diketahui merupakan tempat persinggahan penting burung pengembara tersebut. Indonesia memiliki tanggung jawab untuk melindungi burung-burung tersebut karena Nusantara ini wilayah yang disinggahi setiap tahun,” terang Yus.

Fransisca Noni dari Burung Nusantara yang mewakili panitia peringatan Hari Burung Migran Dunia (World Migratory Bird Day – WMBD) menuturkan, Indonesia pada 2016 melakukan 29 kegiatan dari Sumatera hingga Papua dengan melibatkan 700 peserta.

Jenis burung yang teramati selama migrasi tersebut adalah biru-laut ekor-blorok, gajahan besar, gajahan timur, trinil bedaran, trinil-lumpur asia, cerek-kalung kecil, cerek-pasir besar, cerek tilil, sikatan emas, bentet loreng, sikatan bubik, kirik-kirik laut, sikep-madu asia, gajahan pengala, trinil pantai, trinil-kaki hijau, kedidi-leher merah, dara-laut sayap-putih, dara-laut biasa, dara-laut tiram, dan dara-laut kumis.

Ancaman yang dihadapi burung petualang tersebut tidak hanya datang dari kondisi alam yang kadang tidak bersahabat, tetapi juga dari manusia yang kerap memburu, menangkap, dan memperjualbelikannya. “Sampah dan alih fungsi lahan makin menggenapi ancaman tersebut,” ujar Noni.

Sumber : mongabay.co.id