Di tengah gemersik dedaunan bambu di lereng Gunung Baung, suara kicauan burung menggema. Namun, hari itu, ada nada baru yang bergabung dengan simfoni alam, suara Bentet Kelabu (Lanius schach) dan Kacamata Biasa (Zosterops melanurus) yang akhirnya kembali ke rumahnya, 5 Maret 2025.
Setelah melewati serangkaian perawatan intensif di Kandang Transit Wildlife Recue Unit (WRU) BBKSDA Jatim, satwa hasil penyelamatan dari perdagangan illegal oleh Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (BKHIT) Tanjung Perak serta Seksi KSDA Wilayah III Surabaya tersebut kini bebas kembali menjelajahi kanopi hutan di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Baung.
Namun, kebebasan ini bukan tanpa ancaman. Bentet Kelabu dan Kacamata Biasa termasuk dalam daftar burung yang paling diburu untuk perdagangan satwa liar. Pasar burung kicauan yang terus berkembang di Indonesia telah meningkatkan permintaan akan spesies ini, menjadikan mereka sasaran empuk bagi para pemburu liar.
Bentet Kelabu dikenal karena suaranya yang merdu dan kemampuannya meniru suara burung lain, sementara Kacamata Biasa populer sebagai burung peliharaan karena ukurannya yang kecil dan kicauannya yang khas. Sayangnya, tingginya permintaan ini telah mendorong praktik perburuan liar yang merusak keseimbangan ekosistem, mengurangi populasi di alam, dan mengancam keberlanjutan spesies.
TWA. Gunung Baung dipilih sebagai lokasi pelepasliaran bukan tanpa alasan. Lanskap hutan ini masih menawarkan sumber pakan alami yang melimpah dan struktur ekosistem yang sesuai bagi burung-burung kecil ini. Sebagai area konservasi seluas 197,2 hektar, Gunung Baung telah menjadi suaka nyaman bagi berbagai satwa yang sebelumnya terjebak dalam rantai perdagangan ilegal, konflik manusia, atau kehilangan habitat akibat perambahan.
Namun, dibalik pelepasliaran, ada tantangan besar yang mengintai. Seiring meningkatnya jumlah satwa hasil sitaan atau penyerahan masyarakat yang dilepasliarkan di kawasan ini, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana daya dukung ekosistem mampu menopang mereka?
Regulasi terbaru, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 17 Tahun 2024 tentang Penyelamatan Jenis Satwa, menegaskan bahwa pelepasliaran harus dilakukan dengan kajian ekologi yang ketat. Untuk memastikan bahwa habitat yang dipilih benar-benar layak dan berkelanjutan bagi spesies yang dikembalikan ke alam.
Burung-burung hasil sitaan atau penyerahan masyarakat tidak bisa langsung dilepasliarkan tanpa evaluasi. Mereka harus menjalani pemeriksaan medis dan perilaku untuk memastikan kesiapan kembali ke alam. Proses rehabilitasi ini menjadi krusial dalam menjamin kelangsungan hidup mereka di habitat aslinya.
Bagi Bentet Kelabu dan Kacamata Biasa, hari ini adalah awal dari perjalanan baru. Mereka kembali ke rumahnya, membawa harapan akan ekosistem yang terus lestari. Namun, bagi kita, tugas besar masih menanti, menjaga agar habitat ini tetap lestari dan mampu menjadi rumah yang layak bagi satwa liar yang terus berjuang untuk bertahan hidup di tengah ancaman yang kian nyata. (dna)
Sumber : WRU Balai Besar KSDA Jawa Timur