Belajar Konservasi Dari Wonosalam

Share
Berbekal pemahaman sederhana bahwa hutan gundul akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang dapat merugikan masyarakat, Wagisan bersama warga Dusun Mendiro, Desa Panglungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, melakukan upaya penanaman kembali hutan yang gundul seluas lebih dari 50 hektar.
 
Awal mulanya hutan di kawasan Dusun Mendiro ditumbuhi banyak tanaman kayu, serta tanaman buah-buahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Hutan seluas 50 hektar yang masuk dalam wilayah penguasaan Perhutani ini mengalami kerusakan dan menjadi gundul, akibat penebangan kayu hutan secara ilegal pada tahun 1998-1999. Tidak hanya oleh warga masyarakat sekitar, penebangan kayu juga banyak dilakukan oleh oknum aparat.
 
Melalui inisiatif dan swadaya sendiri, Wagisan bersama 10 orang yang menamakan diri sebagai kelompok Kepuh (Kelompok Pelindung Hutan dan Pelestari Mata Air), kelompok masyarakat yang peduli terhadap hutan melakukan penanaman bibit pohon buah-buahan, pada lahan yang gundul. Wagisan beranggapan bila kondisi ini dibiarkan, maka tidak hanya akan berakibat pada bencana lingkungan, namun juga mempengaruhi perekonomian warga yang semula sangat bergantung pada hutan.
 
“Dulu jaman saya kecil tanaman duriannya berbuah lebat, tapi kemudian semuanya dijarah orang, ditebangi sampai habis total dan gundul. Kemudian saya bersama warga yang lain mulai lagi menanami, selain durian ada juga nangka, kemiri, jengkol, dan masih banyak lagi,” ujar Wagisan.
 
Melalui gerakan menanami kembali hutan yang gundul, Wagisan beranggapan bahwa keberadaan pohon-pohon atau tanaman berkayu akan mampu menahan serta menyimpan air, mencegah bahaya longsor dan banjir bandang, dan mengembalikan debit air dari mata air yang sempat hilang atau mati.
 
Secara mandiri, mereka melakukan pembibitan tanaman buah aneka macam, melakukan penanaman dan penyiraman, hingga bergantian melakukan patroli untuk menjaga agar tidak ada lagi penebangan pohon secara ilegal. Pada awal mula kelompok Kepuh melakukan pembibitan hingga 10.000 bibit tanaman buah-buahan dari 40 jenis tanaman.
 
“Semua kami lakukan sendiri, tidak ada bantuan dari siapa pun, semua swadaya masyarakat,” tukas Wagisan. Kerelaan menjadi penjaga hutan dan pelestari mata air juga diakui oleh Tumariono, warga Dusun Mendiro. Tumariono mengaku tidak dibayar untuk menjadi bagian dari kelompok Kepuh. Melalui upaya menjaga hutan dengan cara menanam pohon dan merawat mata air, “bayarannya” berupa air bersih gratis dirasa lebih dari cukup bagi Tumariono serta warga lainnya.
 
“Masyarakat disini tidak pakai pompa air, pompa airnya ya pohon yang ditanam. Dengan itu semua airnya bisa langsung disalurkan lewat pipa paralon ke masing-masing rumah warga. Kalau bayarannya ya gak ada,” tutur Tumariono yang mengaku pernah bertengkar antar warga, karena berebut sumber mata air saat debit air yang keluar masih sedikit.
 
Selama lebih dari 3 tahun, Tumariono mengaku tidak sampai mengalami kekurangan air, bahkan saat memasuki musim kemarau. Kebutuhan warga akan air bersih, serta air untuk berternak dan berladang, selalu tercukupi sejak reboisasi berhasil dilakukan di hutan Dusun Mendiro.
 
“Ini setelah warga sadar dan melakukan pembibitan, menanam di sebelah mata air, terutama di Petung Pecut dan Sumber Gintung. Warga menanam aneka tanaman kayu, seperti kayu bendho, durian, kemiri, trembesi, gondang, pucung, juga bambu apus dan bambu petung,” jabar Tumariono.
 
Kondisi seperti ini diharapkan Wagisan tidak sampai menimbulkan perusakan dan pembabatan hutan kembali, setelah masyarakat merasakan manfaat hutan secara ekonomis.
 
“Sekarang sudah menjadi hutan, ada durian dan jengkol yang sudah berbuah, alpukat, nangka, kemiri, juga ada manggis, langsep. Kami menjadikan lahan yang gundul sebagai hutan beraneka ragam buah. Harapan kami hutan lestari, masyarakat banyak rejeki, dan tidak lagi merusak hutan,” harap Wagisan.
 
Melalui upaya konservasi yang dilakukan kelompok Kepuh bersama masyarakat setempat, tidak hanya mengembalikan kondisi hutan seperti semula, tapi juga ikut menjaga satwa serta ekosistem yang ada sebelumnya. “Kita juga melindungi satwa jangan sampai diburu. Sekarang kita sudah mulai menemui lutung, kancil, kijang, berbagai jenis burung, bahkan masih terlihat macan kumbang,” imbuh Wagisan yang merupakan mantan Kepala Dusun Mendiro ini.
 
Meski telah berupaya melakukan penanaman kembali hutan yang gundul, ternyata masih ada juga masyarakat serta oknum aparat yang melakukan penebangan pohon. Sekitar 50 pohon kemiri yang telah ditanam kelompok Kepuh bersama warga didapati ditebang oleh orang yang tidak bertanggungjawab, sehingga sempat menimbulkan ketegangan antara warga dengan Perhutani.
 
“Setelah pohon kemiri jadi dan banyak, sekitar 50 pohon ditebangi pada Mei 2010, sejak saat itu kelompok Kepuh sudah siaga semuanya. Kalau ada yang menebang atau mencuri, ramai-ramai akan diambil tindakan dan dilaporkan pihak berwajib. Kalau pencurian ini dibiarkan, kasihan anak cucu kita nanti kalau hutannya rusak kembali,” tegas Wagisan.
 
Wagisan berharap konservasi hutan yang telah dilakukan warga yang dimotori kelompok Kepuh ini, tidak sampai dirusak oleh pihak yang kurang bertanggungjawab dan ingin mencari keuntungan sendiri. Pemerintah diminta turun tangan dan terlibat secara langsung dalam mendukung upaya konservasi yang telah digalakkan oleh kelompok Kepuh bersama masyarakat.
 
“Jangan sampai hutan konservasi yang sudah jadi seperti ini dikotori oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, kalau pemerintah tidak turun tangan ya tidak menutup kemungkinan bisa rusak lagi,” serunya.
 
Selain meminta dukungan pemerintah daerah Kabupaten Jombang dan Pemprov Jatim, kelompok Kepuh berharap potensi sumber daya alam khususnya di hutan Wonosalam dapat dikembangkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi masyarakat secara maksimal.
 
“Kalau pas panen durian, ini jadi hutan durian. Ini yang bisa mendatangkan pemasukan ekonomi warga, juga tanaman dengan buah yang lain. Sejauh ini kami menjual sendiri, belum ada yang menampung hasil panen warga. Selain itu akses jalan yang kurang baik jadi hambatan kami,” ucap Wagisan.
 
Pada waktu panen durian, hampir seluruh area yang dihijaukan menghasilkan buah durian. Rata-rata 1 pohon menghasilkan 10 hingga 20 buah durian. Bila dijual seharga Rp30.000, masyarakat memperoleh pemasukan Rp300.000- Rp600.000 per pohon. Padahal dalam sebidang lahan yang digarap warga bisa ada lebih dari 10 pohon durian.
Sedangkan dari panen kemiri, setiap 100 butir kemiri dihargai Rp7.000, sedangkan setiap pohonnya bisa menghasilkan antara 500 hingga 1.000 butir kemiri. Pohon kemiri di hutan Mendiro merupakan salah satu jenis pohon yang paling banyak ditanam di lahan seluas 50 hektar, karena pohonnya yang merupakan jenis tegakan.
 
“Bisa dihitung sendiri berapa hasil yang diperoleh sekali panen untuk kemiri dan durian. Belum lagi jengkol, nangka, dan hasil pohon buah lainnya. Intinya masyarakat semakin sejahtera setelah upaya penghijauan ini berhasil,” ungkap Wagisan.
 
Partisipasi Masyarakat
Aktivis lingkungan dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (ECOTON) Amiruddin Muttaqin mengungkapkan, keberadaan kelompok Kepuh merupakan salah satu contoh partisipasi yang dilakukan masyarakat, dalam menjaga dan melindungi hutan terutama hutan-hutan lindung yang ada di perbatasan desa-desa paling ujung.
 
“Seharusnya memang di hampir semua hutan itu ada kelompok-kelompok seperti yang dilakukan kelompok Kepuh ini, yang sudah menjadikan hutan ini lebih bagus, terjaga, terawat, mata airnya terus mengalir dan bisa dimanfaatkan oleh semua masyarakat yang ada di hulu maupun di hilir,” katanya.
 
Amiruddin menilai bahwa sangat penting melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan, karena masyarakatlah yang setiap hari berinteraksi di hutan dengan berbagai ikatan emosional dan ekonomi yang terkandung di dalamnya. Fungsi hutan baik secara ekologi maupun ekonomi inilah, yang menjadikan hutan sebagai ekosistem yang harus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat.
 
“Mau tidak mau masyarakat harus menjaga hutan dan melindunginya, karena ini untuk tujuan peningkatan ekonomi dan juga melindungi mata air yang ada,” kata Amir yang sudah mendampingi kelompok Kepuh sejak 2010.
 
Sudah selayaknya, lanjutnya, pemerintah harus berterimakasih dan memberikan apresiasi bagi masyarakat di hulu yang sudah menjaga hutan dan mata air. Keberhasilan kelompok Kepuh ini perlu didukung oleh semua pihak, karena upaya menjaga serta melestarikan hutan serta mata air tidak dapat dilakukan sendiri, khususnya masyarakat yang berdekatan dengan kawasan hutan yang kritis.