Di jantung Cagar Alam Gunung Sigogor, air tidak sekadar mengalir. Ia berdenyut, menghidupi, dan menjaga keseimbangan yang rapuh antara hutan, satwa, dan manusia. Pada tanggal 3–4 Desember 2025, tim Balai Besar KSDA Jawa Timur melakukan monitoring lima mata air di kawasan konservasi ini, sebuah langkah penting untuk memastikan bahwa “nadi bumi” di Sigogor tetap berfungsi, terutama dalam menghadapi ancaman kebakaran hutan yang semakin meningkat di musim kemarau.
Kegiatan yang difokuskan di Blok Ngesep, Wates, dan Secentong ini memetakan lokasi-lokasi sumber air pada koordinat strategis, sebagian di antaranya mengalir tepat di batas kawasan. Setiap titik air yang ditemukan bukan hanya catatan koordinat, ia adalah penanda ekosistem yang masih bekerja. Di sekitarnya, tegakan Ficus sp., Pasang (Lithocarpus sp.), Nyampuh, Talesan (Parsea odoratissima), dan Morosowo (Engelhardtia spicata) tumbuh sebagai penyangga alami, menjaga tanah tetap lembab dan menyediakan substrat bagi mikroorganisme yang menghidupkan sungai-sungai kecil ini.
Namun monitoring tidak hanya mencatat keberadaan air; ia juga mengungkap kerentanan. Blok Ngesep, yang berbatasan dengan perkebunan kopi, dan Blok Wates, yang bersisian dengan hutan pinus Perhutani, menunjukkan tanda-tanda bahaya laten. Seresah kering dan rumpun bambu di sepanjang batas kawasan menjadikan area ini rawan tersulut api. Dalam situasi seperti ini, pemetaan kantong-kantong air menjadi lebih dari sekadar kegiatan teknis, ia adalah strategi penyelamatan, informasi vital yang menentukan kecepatan respon ketika kebakaran benar-benar terjadi.
Yang menghubungkan seluruh cerita ini adalah aliran yang tenang namun pasti, dimana kelima mata air di Sigogor bermuara ke Sungai Sumberagung, membawa kehidupan dari hutan lindung menuju bentang budaya dan pertanian di Madiun. Di Dusun Toyomerto, Pupus, dan Kecamatan Kare, air ini menjadi sumber utama kebutuhan rumah tangga dan irigasi pertanian. Masyarakat mungkin tidak melihat langsung hutan lebat di Sigogor, tetapi kehidupan mereka bergantung pada kestabilan ekosistem tersebut.
Inilah pesan penting dari Sigogor, ketika hutan dijaga, air pun tetap ada, dan ketika air tetap ada, kehidupan mengalir jauh melampaui batas kawasan konservasi. Monitoring sumber air bukan sekadar kegiatan rutin, tetapi pembacaan terhadap kesehatan bumi, sebuah upaya memahami bagaimana alam bekerja untuk memastikan bahwa generasi mendatang masih dapat merasakan manfaatnya.
Di tengah ancaman kebakaran, perubahan iklim, dan tekanan pemanfaatan lahan, Sigogor tetap mengajarkan satu hal bahwa air adalah nadi bumi, dan hutan adalah organ yang menjaganya tetap berdenyut. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah I Madiun – Balai Besar KSDA Jawa Timur