Type to search

Artikel

Menangkal Kepunahan Kera Besar Nusantara

Share

 

Suatu siang medio Juni, seekor orangutan bertengger di pohon ara gendang diPrevab, Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. 
 
Dalam jumpa pertama ini, kami menatap salah satu anak-jenis kera besar di Kalimantan: orangutan morio, Pongo pygmaeus morio. Dua sepupunya yang lain: orangutan wurmbii (P. p. wurmbii) dan orangutan pygmaeus (P. p. pygmaeus).
 
Orangutan morio hidup di Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur. Batas utara sebarannya ada di seputar Berau. “Dari Berau kosong, terus ada lagi sedikit populasi di Kalimantan Utara,” papar Sri Suci Utami Atmoko, dari Universitas Nasional, Jakarta.
 
Sementara itu, orangutan pygmaeus, tersebar dari utara Sungai Kapuas, Kalimantan Barat, sampai Sarawak, Malaysia. Nah, antara selatan Sungai Kapuas sampai barat Sungai Barito, dihuni orangutan wurmbii.
 
Selain di Kalimantan, orangutan juga hidup di Pulau Sumatra. Jadi ada dua jenis orangutan di Indonesia. “Pongo pygmaeus di Kalimantan dan Pongo abelii di Sumatra,” urai Suci saat lokakarya Orangutan Conservation and Reforestation, di Sangatta. 
 
Di Taman Nasional Kutai, para orangutan morio bernasib baik. Namun, azab sengsara menimpa orangutan di luar taman nasional, yang habitatnya telah berkeping-keping. “Orangutan di Kalimantan Timur saat ini emergency. Siaga satu,” ujar Yaya Rayadin, dari Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda.
 
Fragmentasi habitat berpengaruh besar bagi kelangsungan orangutan morio. Yaya memilah kondisi habitat di luar kawasan konservasi. “Ada yang baik dan ada yang jelek.”
 
Habitat yang terjaga, semisal di areal tambang. “Di sana, habitat yang terfragmentasi dalam kondisi baik,” terang Yaya.
 
Sebaliknya, di areal konsesi sawit dan hutan tanaman, dengan masyarakat bebas masuk, habitat dalam keadaan buruk. Sehingga, dia menyarankan, “kita bisa meminta perusahaan untuk mengamankan habitat orangutan.”
 
Untuk menautkan habitat yang tersebar, Yaya mengingatkan keberadaan sungai. Kerumunan hutan di kiri-kanan sungai sejarak 100 meter mesti dilindungi, dilarang ditebang. 
 
Di sepanjang Sungai Sangatta, dalam kawasan taman nasional, masih terpampang jejak kebakaran hutan pada 1997 – 1998, yang meninggalkan padang ilalang.Tanpa campur tangan manusia, alam di Prevab dan Mentoko sebenarnya bisa kembali pulih.
 
Pada areal ilalang itulah, Kepala Balai Taman Nasional Kutai Erly Sukrismanto hendak melakukan restorasi: menanam kembali pohon kesukaan orangutan. 
 
“Nanti, kalau ada yang ingin tahu habitat ideal orangutan bisa mengunjunginya. Itu butuh riset dan manajemen yang baik,” katanya dengan bersemangat.
 
Orangutan memang menghadapi berbagai dilema. “Selain dilema habitat dan populasi menurun, juga menghadapi dilema orangutan yang direhabilitasi belum bisa dilepas,” terang Novianto Bambang, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan.
 
Pemulihan orangutan yang jinak menjadi liar, menurut Bambang, perlu waktu lama dan biaya besar. Lantaran itulah, Bambang berharap perusahaan nasional turut membantu melepasliarkan orangutan. 
 
“Perusahaan Indonesia yang sudah punya keuntungan lebih, mari menuju ke sana (melepasliarkan orangutan),” jelas Bambang di sela lokakarya Orangutan Conservation and Reforestation.
 
Selama 2011 saja, bersama PT Pertamina EP, Balai Taman Nasional merawat dua orangutan sitaan.Program bilateral Balai Taman Nasional dengan PT Pertamina EP senilai Rp 1,9 miliar selama 2009 – 2014. 
 
“Wujudnya, bantuan operasional, pembangunan sarana wisata di Sangkima, membantu melepasliarkan orangutan sitaan, dan monitoring populasi,” papar Syamsu Alam, Presiden Direktur PT Pertamina EP.
 
Di Sangatta, PT Pertamina EP melihat nilai penting orangutan morio sebagai satwa endemik Kalimantan. “Karena keterbatasan kami, kami mendukung Taman Nasional Kutai, termasuk konservasi orangutan,” lanjut Syamsu.
 
Dukungan itu sebagai wujud komitmen ‘tumbuh bersama lingkungan’ yang fokus di Sangkima. “Lokasi ini dekat dengan areal operasi dan ada potensi yang bisa dikelola dan dimanfaatkan,” imbuh Syamsu.
 
Erly Sukrismanto menyatakan, kerjasama bilateral itu menambah sumberdaya bagi taman nasional. “Kita mendapat sumberdaya, dan perusahaan mendapatkan citra positif. Ini sebenarnya kerjasama mutualisme, saling menguntungkan,” ungkap Erly.
 
Dalam kerjasama bilateral bertajuk Optimalisasi Pengelolaan Kawasan Taman Nasional Kutai itu, terdapat dua program utama: konservasi orangutan dan pengembangan wisata alam Sangkima serta kegiatan pendukung.
 
Salah satu programnya berupa survei populasi di Menamang, Mentoko dan Sangkima. Hasilnya,dijumpai 267 orangutan di Menamang; 316 ekor di Mentoko; dan 665 ekor di Sangkima.
 
Pada 2012, kerjasama bilateral ini menggelar operasi gabungan dengan kepolisian dan TNI dan pembibitan tanaman endemik sumber pakan orangutan. 
 
Sementara untuk 2013, akan membangun sarana senilai Rp 300 juta; journalist fieldtrip;pembuatan boneka orangutan sebagai ikon Sangatta dan taman nasional; serta lokakarya orangutan.
 
Sebagai salah satu satwa prioritas, populasi orangutan diharapkan naik tiga persen selama 2010 sampai 2014.
 
“Taman Nasional Kutai sangat memahami kondisi alam di sekitar wilayah kami. Melalui kolaborasi ini, kami bisa melakukan kegiatan yang tepat sasaran, dan target pelestarian orangutan morio dapat tercapai,” harap Syamsu.
 
Dari kawasan konservasi yang ada di Kalimantan, papar Novianto Bambang, populasi orangutan menunjukkan tren yang lumayan naik. “Rata-rata kenaikan antara 1 – 1,5 persen setiap tahun. 
 
Harapannya, dalam lima tahun bisa tercapai tiga persen. “Kalau orangutan sampai punah, kita betul-betul kualat,” pungkas Bambang. 
 

 

Leave a Comment