Saat Genetika Populasi Menuntun Masa Depan Konservasi Jawa Timur
Share
Upaya konservasi di Jawa Timur memasuki babak baru. Dalam Kuliah Tamu Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jumat (5/12), Balai Besar KSDA Jawa Timur menegaskan bahwa genetika populasi kini menjadi fondasi ilmiah dalam pengambilan keputusan konservasi satwa liar di wilayah tersebut.
Pemanfaatan analisis DNA, mulai dari penilaian keragaman gen, mendeteksi inbreeding, hingga memahami asal-usul satwa sitaan, menjadi langkah penting dalam menjaga keberlanjutan spesies di tengah tekanan ekologis yang kian meningkat. Kepala BBKSDA Jatim menyampaikan bagaimana pendekatan genetika digunakan untuk menetapkan status populasi, menentukan unit konservasi evolusioner, hingga mengevaluasi keberhasilan restorasi habitat.
Kegiatan yang berlangsung di Auditorium Gedung At-Taawun lantai 23 ini dihadiri jajaran tenaga teknis BBKSDA Jawa Timur, antara lain Sumpena, S.P. (Kepala Seksi KSDA Wilayah III Surabaya), Rakhmat Hidayat, S.P. (Polisi Kehutanan Ahli Madya), Fajar Dwi Nur Aji (Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda), dan Ach. Onky Prynono (Penyuluh Kehutanan Ahli Pertama).
Paparan terkait integrasi antara ilmu genetika dan pekerjaan konservasi yang selama ini dijalankan di lapangan, termasuk penanganan kasus peredaran satwa liar, pemantauan populasi, dan pengawasan lembaga konservasi disampaikan pada kegiatan tersebut. Kepala BBKSDA Jatim menampilkan contoh bagaimana analisis DNA digunakan untuk memetakan keragaman genetik Rusa Bawean dan Kakatua Kecil Jambul Kuning, dua spesies endemik yang populasinya kecil dan terfragmentasi
Pendekatan genetika populasi menjadi semakin krusial karena tantangan konservasi tidak lagi hanya terlihat di permukaan. Perubahan iklim, fragmentasi habitat, serta meningkatnya intensitas perdagangan ilegal satwa membuat pengelolaan kawasan dan spesies membutuhkan data yang lebih tajam dan akurat. Triple Planetary Crisis yang berdampak pada perubahan iklim, polusi, dan hilangnya biodiversitas kini berlangsung bersamaan dan berdampak langsung terhadap populasi satwa liar Jawa Timur.
Dalam situasi demikian, analisis genetika menjadi instrumen untuk membaca “lapisan terdalam” kondisi populasi, termasuk mendeteksi bottleneck genetik yang tidak tampak dari pengamatan lapangan.
Selain menyajikan data dan kasus lapangan, kuliah tamu ini juga menekankan pentingnya kolaborasi antara lembaga konservasi dan dunia akademik. BBKSDA Jatim mendorong penguatan riset genetika bersama perguruan tinggi, BRIN, dan lembaga penelitian lainnya. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan IBSAP 2025–2045 yang menempatkan perlindungan genetik sebagai salah satu target nasional prioritas dalam konservasi keanekaragaman hayati
Dalam kesempatan tersebut, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nur Patria Kurniawan, menyampaikan bahwa masa depan konservasi memerlukan keputusan yang berbasis sains, terutama pada spesies-spesies yang menghadapi tekanan serius.
“Konservasi modern tidak hanya berbicara tentang jumlah individu di alam, tetapi tentang kualitas genetik yang menopang kemampuan mereka bertahan. Genetika populasi memberi kita cara untuk melihat apa yang tidak terlihat, kerentanan, dinamika populasi, dan peluang pemulihan. Ketika pemahaman ilmiah ini menjadi dasar kebijakan, maka kita sedang memastikan masa depan keanekaragaman hayati Jawa Timur tetap terjaga,” ujarnya.
Beliau menambahkan bahwa BBKSDA Jatim berkomitmen memperkuat integrasi data genetika dalam seluruh program konservasi. “Sains bukan sekadar pelengkap, melainkan penuntun. Dan melalui genetika, kita mendapatkan peta yang jauh lebih jelas untuk mengambil keputusan yang tepat dan bertanggung jawab,” tegasnya.
Dengan berkembangnya teknologi dan meningkatnya ancaman terhadap spesies, genetika populasi memberi arah baru bagi konservasi Jawa Timur, arah yang berbasis data, kolaboratif, dan menyatukan sains dengan kebijakan pengelolaan kawasan. Melalui pendekatan ini, upaya pelestarian satwa liar kini melangkah lebih presisi, memastikan setiap unit genetik tetap menjadi bagian dari kekayaan hayati Indonesia yang tak ternilai.
Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, PEH Ahli Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur

