Rabies, Satwa Eksotik, dan Ancaman Zoonosis, Suara Konservasi dari Lamongan
Share

Pagi itu, Minggu (28/9), Lapangan Gajah Mada dipenuhi ratusan wajah penuh antusias. Dari siswa sekolah dasar hingga mahasiswa kedokteran hewan, dari dokter klinik hingga aparat pemerintah, semua larut dalam semangat yang sama: melawan ancaman zoonosis dan menjaga harmoni antara manusia, satwa, dan alam.
Di tengah keramaian Bulan Bakti Peternakan dan peringatan World Rabies Day 2025, suara konservasi hadir lewat Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur. Sebagai narasumber, Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda, menegaskan satu pesan penting: pemanfaatan satwa liar harus legal, lestari, dan berpihak pada konservasi.
Talkshow yang hanya berlangsung dua jam itu berkembang menjadi forum diskusi hidup. Pertanyaan deras mengalir, bagaimana aturan memelihara satwa eksotik? Apakah risiko penyakit dari hewan peliharaan benar-benar nyata? Bagaimana mekanisme perizinan untuk satwa non-dilindungi?
Yang menarik, pertanyaan datang bukan hanya dari kalangan akademisi atau dokter hewan. Seorang siswa kelas 6 SD berani mengacungkan tangan, ingin tahu tentang bahaya rabies dan peran masyarakat dalam mencegahnya. Momentum ini memperlihatkan betapa isu zoonosis dan satwa eksotik kini benar-benar dirasakan dekat oleh masyarakat.
Dalam paparannya, BBKSDA Jatim mengurai kerangka regulasi yang menjadi dasar pengelolaan satwa liar di Indonesia. Mulai dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 yang memperbarui UU No. 5 Tahun 1990, hingga Peraturan Pemerintah Nomor 7 dan 8 Tahun 1999, serta aturan terbaru di bawah Kementerian Kehutanan.
Regulasi bukan sekadar aturan di atas kertas. Ia hadir untuk memastikan bahwa manusia bisa berinteraksi dengan satwa tanpa mengorbankan kesehatan, kelestarian, dan keberlanjutan ekosistem.
Tak hanya masyarakat dan akademisi, kegiatan ini turut dihadiri Bupati dan Wakil Bupati Lamongan, menunjukkan komitmen pemerintah daerah dalam mengintegrasikan isu kesehatan hewan, zoonosis, dan konservasi. Kehadiran BBKSDA Jatim mendapat apresiasi sebagai bukti nyata bahwa konservasi tidak bisa berjalan sendiri, ia harus berdiri di persimpangan kesehatan, pendidikan, dan kebijakan publik.
Di balik diskusi hangat itu, satu hal menjadi jelas, bahwa ancaman rabies dan penyakit zoonosis bukan sekadar isu medis, tetapi juga konservasi. Setiap satwa eksotik yang dipelihara tanpa izin, setiap interaksi tanpa kesadaran risiko, berpotensi membuka pintu bagi bencana kesehatan.
Dari jantung Lamongan, suara konservasi pun bergema, mengingatkan bahwa menjaga alam berarti juga menjaga manusia. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah 2 Gresik – Balai Besar KSDA Jawa Timur