Peneliti Sarankan Pembangunan Habitat Baru bagi Badak Jawa
Share
Hasil studi terbaru yang ditebitkan dalam Jurnal Konservasi dunia, Conservation Letter, menyatakan bahwa sebagian populasi Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) berada dalam jangkauan Gunung Berapi Krakatau dan dekat dengan Cekungan Sunda. Lokasi ini merupakan daerah konvergen lempengan tektonik yang berpotensi menyebabkan gempa bumi, dan dapat memicu terjadinya tsunami.
Dalam studi ini, para peneliti membuktikan bahwa jumlah populasi badak jawa pada tahun 2013 berjumlah 62 individu, ini merupakan populasi yang padat dalam satu habitat. Dalam studi ini juga diproyeksikan jika terjadi bencana tsunami setinggi 10 meter atau sekitar 33 kaki dalam 100 tahun kedepan, dapat mengancam 80 persen area kawasan taman nasional, padahal kawasan ini merupakan habitat dengan kepadatan populasi badak jawa tertinggi.
“Oleh karena itu, peneliti mendesak untuk segera melakukan pembangunan habitat baru bagi populasi badak jawa yang aman dari kawasan rawan bencana alam. Studi ini pun bisa menjadi momentum yang baik untuk segera menyelamatkan badak jawa karena kita berpacu dengan waktu,” ujar Arnold Sitompul, Direktur Konservasi WWF-Indonesia, Minggu (28/05).
Pembentukan habitat baru ini, katanya, dapat dilakukan dengan mengidentifikasi lokasi badak dan mengamankannya, memastikan kesepakatan dengan beberapa pemangku kepentingan, termasuk pemerintah dan masyarakat lokal, dan pemantauan yang intensif di TNUK untuk memilih individu badak jawa yang tepat untuk segera dipindahkan.
Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Dahono Adji menegaskan bahwa pemerintah melalui KLHK menyatakan studi kelayakan terhadap habitat baru badak jawa memunculkan kawasan Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh, Sukabumi, Jawa Barat, sebagai kawasan yang paling memungkinkan untuk dijadikan kawasan translokasi badak jawa. Upaya translokasi yang sudah disiapkan lebih dari 3 tahun lalu tersebut bertujuan untuk membuat kantong habitat baru dan membantu proses reproduksi badak jawa.
“Saat ini kita tinggal tunggu tes DNA dari badak yang saat ini ada di ujung kulon, supaya nantinya yang dipindahkan bukan dari satu keluarga dan satu darah suapaya tidak terjadi inbreeding,” terangnya.
Habitat badak jawa (Rhinoceros sondaicus) yang saat ini hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, dikatakan Bambang memang tergolong rentan. Pasalnya, populasi yang saat ini hanya terdapat di wilayah tersebut mengalami ancaman inbreeding dan bencana alam yang dapat merusak kelangsungan badak bercula satu tersebut.
Menurut rencana, akan dibangun tempat penyelamatan dan perlindungan (sanctuary) badak jawa di SM Cikepuh, sama seperti di kawasan TNUK. Hal tersebut bertujuan untuk membuat perkembangbiakan buatan. Cikepuh hanya memiliki belasan ribu hektare, sementara daya jelajah badak jawa mencapai tiga kilometer per hari. Menurutnya, Cikepuh dipilih karena memiliki kesamaan fisik kawasan seperti pantai dan tanah yang agak basah.
“Jadi Lembaga Biologi Molekular Eijkman serta pakar dari Institut Pertanian Bogor dan Universitas Indonesia telah ditunjuk sebagai tim untuk melakukan rangkaian tes tersebut. Selain itu, pemerintah juga bekerjasama dengan NGO untuk tes dan penyiapan kawasannya,” kata Bambang.
Sebagai informasi, studi, berjudul “Preventing Global Extinction of the Javan Rhino: Tsunami Risk and Future Conservation Direction,” ini telah diluncurkan pada tanggal 9 Mei oleh para pakar konservasi dari Indonesia dan dunia, yang berasal dari Balai Taman Nasional Ujung Kulon, WWF-Indonesia, YABI-Yayasan Badak Indonesia, Global Wildlife Conservation dan Colorado State University.
Studi ini menyajikan analisis terperinci mengenai populasi Badak Jawa, dengan menggunakan metode kamera jebak. Pada tahun 2013, para peneliti memperoleh 1.660 foto badak yang direkam dari 178 lokasi kamera jebak yang dipasang untukmendapatkan perkiraan jumlah populasi, yaitu 62 individu.
Sumber : greeners.co