Type to search

Artikel

Pencurian Capung Langka Indonesia Luput Dari Perhatian

Share
Vestalis luctuosa betina, salah satu spesies capung jarum yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Capung ini berstatus hampir terancam (near threatened). Foto : Hariyawan A Wahyudi

Vestalis luctuosa betina, salah satu spesies capung jarum yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Capung ini berstatus hampir terancam (near threatened). Foto : Hariyawan A Wahyudi

Cerita tentang perburuan dan perdagangan ilegal satwaliar di Indonesia tidak hanya menyasar satwa-satwa besar seperti badak, harimau, gajah, elang dan spesies lain yang selama ini dikenal lekat dengan masyarakat. Bahkan capung yang selama ini keberadaannya sering dikesampingkan, juga tak luput dari incaran jaringan perdagangan internasional. Capung-capung eksotik dan langka milik Indonesia berpindah ke negara lain tanpa terdeteksi.

Magdalena Putri Nugrahani, peneliti dan pemerhati capung dari Indonesia Dragonfly Society (IDS), mengungkapkan bahwa tak sedikit kolektor serangga, termasuk capung, yang berkunjung ke Indonesia sebagai turis dan kemudian melakukan survey. Tak jarang mereka membawa sampel jaringan bahkan telur.

“Kita sudah banyak kecolongan. Banyak orang datang ke Indonesia dengan izin turis tapi mereka melakukan riset capung,” kata Magda.

Menurutnya, banyaknya kejadian sampel capung dibawa keluar tanpa izin tersebut karena minimnya perhatian pemerintah maupun masyarakat terhadap keberadaan capung itu sendiri. Meski Indonesia memiliki keragaman capung yang sangat tinggi, yaitu 15% dari total sekitar 5.680 spesies di seluruh dunia, namun pengetahuan mengenai capung di Indonesia masih sangat kurang. Mayoritas publikasi mengenai capung ditulis oleh peneliti asing.

Kondisi ini berkebalikan dengan apa yang terjadi di negara-negara Eropa, Amerika dan bahkan Afika. Pengetahuan tentang capung di sana terekam dengan sangat baik, seperti halnya jenis-jenis burung. Bahkan, para kolektor di Eropa sudah banyak yang memiliki terarium untuk mengembangbiakkan jenis-jenis capung dari berbagai belahan dunia.

Hal senada diungkapkan oleh Pungki Lupiyaningdyah, peneliti capung dan serangga air lainnya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurutnya, ada beberapa kasus orang asing masuk ke Indonesia dengan visa turis, kemudian dengan alasan liburan, ikut tour ekoturisme ataupun mengikuti pelatihan keragaman hayati, lalu memasuki kawasan hutan. Dari aktifitas itu, mereka punya kesempatan untuk mengkoleksi jenis-jenis capung dan membawa ke negaranya tanpa dokumen resmi.

Kasus seperti ini umum terjadi karena lemahnya pengawasan dari mulai pemerintah hingga masyarakat. Meskipun strategi pemerintah dalam menanggulangi pencurian spesimen sudah ada dan telah diundangkan, namun implementasinya masih belum konsisten. Pungki menilai setiap pihak harus bersikap tegas untuk menindak pencurian kekayaan hayati capung Indonesia.

“Selama ini kasus terungkap kebanyakan penyelundupan hewan besar seperti burung, penyu, cula badak, gading gajah, dan sebagainya. Sedangkan hewan yang kecil-kecil terlewatkan. Padahal justru dari hewan kecil ini masih banyak potensi yang belum diungkap, yang dapat bermanfaat bagi kehidupan kita,” jelasnya.

Lebih lanjut Pungki menjelaskan bahwa keindahan bentuk capung itu yang menjadi daya tarik berbagai kolektor serangga di dunia. Meski kepopulerannya masih kalah dibandingkan dengan kupu-kupu dan kumbang, tidak lantas membuat capung lepas dari incaran kolektor.

“Bagi seorang kolektor, akan menjadi sebuah prestise dan prestasi jika mereka memiliki spesimen dari wilayah tropis seperti Indonesia. Terlebih lagi jika spesimen tersebut adalah spesies langka atau lokasinya yang sulit dijangkau,” jelasnya.

Keunikan Capung
Capung merupakan serangga yang memulai siklus hidupnya di perairan. Setelah kawin, capung betina meletakkan telurnya pada ranting atau daun di dalam perairan. Setelah satu sampai dua minggu, telur-telur tersebut menetas menjadi larva capung atau yang biasa disebut nympha.

Nympha ini akan menghabiskan seluruh waktunya di dalam air, dan berburu untuk mendapatkan mangsanya. Nympha ini termasuk karnivora yang ganas, bahkan beberapa jenis yang berukuran besar, tercatat mampu memburu dan memangsa kecebong dan anak ikan. Bahkan, nympha juga bersifat kanibal yang tak segan memangsa sesama jenis. Nympha membutuhkan waktu yang bervariasi untuk bermetamorfosis menjadi capung dewasa, tergantung jenisnya. Ada yang hanya beberapa bulan bahkan ada yang hingga empat tahun.

Ketika sudah optimal perkembangannya dan didukung oleh kondisi lingkungan yang pas, nympha akan bermetamorfosis menjadi capung dewasa. Individu capung dewasa ini akan keluar dari cangkang dan merayap keluar dari dalam air. Sebagaimana sifatnya sewaktu masih berupa nympha, capung juga merupakan predator ulung karena kemampuan terbangnya yang gesit dan mampu bermanuver dengan cepat. Kemampuan terbangnya yang gesit ini bahkan menjadi inspirasi bentuk pesawat helikopter.

Keunikan ini membuat capung memiliki tempat tersendiri dalam budaya masyarakat di berbagai dunia. Di Jepang, nama capung menjadi nama salah satu senjata legendaris yaitu tonbogiri. Tonbo sendiri berarti capung dalam bahasa Jepang. Di Banyuwangi Jawa Timur, capung diabadikan dalam sebuah lagu daerah yang berjudul Untring-Untring. Lagu ini memberi pesan bahwa manusia harus seperti capung yang gesit dan tangkas.

Capung Sangat Rentan Terhadap Kepunahan
Siklus hidup yang sangat bergantung dengan perairan inilah yang membuat capung rentan terhadap kepunahan akibat hilangnya habitat maupun pencemaran. Kepunahan lokal berbagai jenis capung akan meningkat tajam di wilayah-wilayah yang pertumbuan pembangunannya tinggi.

Magdalena menjelaskan dari hasil-hasil penelitiannya, banyak spesies capung yang hanya dijumpai di perairan yang jernih dan belum tercemar. Ada juga spesies yang masih bisa dijumpai di perairan tercemar karena kemampuan menyesuaikan dirinya lebih baik.

“Penelitian IDS bahkan menemukan spesies Amphiaeschna ampa di Banyuwangi, yang sudah 50 tahun tidak dijumpai. Spesies ini sangat-sangat rentan terhadap polutan. Dan bahkan dia membutuhkan tempat spesifik untuk dapat hidup seperti suhu yang sejuk dan intensitas cahaya matahari yang rendah,” ungkap peneliti yang sehari-hari mengajar di Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi ini.

Menurut data LIPI, wilayah dengan keragaman capung tertinggi yaitu Papua. Dari data yang diperoleh, Papua memiliki sekitar 400 spesies capung dan masih akan bertambah lagi karena masih banyak tempat yang belum diteliti.

“Tingkat endemisitas capung di Papua juga yang tertinggi di Indonesia, yaitu sekitar 75%. Itu artinya hampir setiap spesies capung di Papua merupakan spesies endemik yang tidak dijumpai di pulau lain,” ungkap Pungki.

Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah yang juga memiliki keragaman capung yang tinggi. Terdapat sekitar 280 spesies di masing-masing pulau yang banyak dijumpai di area lahan basah. Sulawesi dan Maluku, baru diketahui sekitar 140 spesies di masing-masing wilayah.

Namun, upaya pelestarian keanekaragaman capung di Indonesia saat ini berkejaran dengan cepatnya laju pembangunan. Seringkali, kegiatan pembangunan berdampak pada hilangnya tempat hidup mereka. Sebagaimana halnya yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, di mana lahan basah mayoritas sudah hilang dan berubah menjadi perkebunan ataupun areal penggunaan lain.

“Sulawesi dan Maluku juga penting untuk kita pantau karena aktifitas penambangan cukup tinggi namun eksplorasi keragaman spesies capung masih sangat kurang,” jelas peneliti lulusan University of Leiden ini.

Lebih lanjut dijelaskan oleh Pungki bahwa saat ini terdapat 22 spesies capung yang masuk dalam daftar merah (REDLIST) yang dikeluarkan oleh IUCN. Spesies tersebut antara lain Macromia erato dan capung jarum Aciagrion fasciculare (vulnerable/VU atau rentan), yang sudah termasuk langka di Jawa Barat. Capung jarum Nososticta phoenissa (VU) di Pulau Buru, capung jarum Protosticta gracilis, Protosticta rozendalorum (critically endangered/CR atau terancam punah) dan capung Procordulia lompobatang (endangered/EN atau genting) dari Sulawesi.

Khusus Jawa, jenis-jenis endemik seperti capung Amphiaeschna ampla dan jenis-jenis capung jarum dari marga Drepanosticta sp. juga perlu mendapat perhatian lebih, karena capung tersebut hanya dapat hidup di daerah hutan dan sumber air bersih, belum tercemar dan dikelilingi oleh vegetasi yang rapat.

“Mereka sangat rentan terhadap dampak dari aktifitas manusia seperti alih fungsi kawasan hutan, pembangunan perumahan, pembukaan persawahan, perkebunan maupun area industri,” tutupnya.

Sumber : mongabay.co.id

Leave a Comment