Nasib Kawasan Karst dalam Keterancaman, Mengapa?
Share
Berbagai persoalan mendera bentang alam karst di Indonesia, seperti penambangan batu gamping maupun alih fungsi lahan lain. Banyak faktor menjadi penyebab. Kondisi ini, harus mendapatkan perhatian serius pemerintah agar kerusakan karst tak berlanjut.
Eko Haryono, Ketua Asia Union of Speleology (AUS), mengatakan, sekitar 9,5% dari total luas karst di Indonesia, 154.000 kilometer, rusak. Persoalan utama pengelolaan karst, katanya, muncul dari konsekuensi desentralisasi kewenangan, terutama kewenangan perizinan pertambangan batu gamping.
Desentralisasi kewenangan itu, katanya, menjadikan peraturan-peraturan pengelolaan karst pemerintah pusat tak berjalan efektif. Meskipun sudah ada peraturan terkait penetapan karst, dalam implementasi sering berlawanan dengan kebijakan politis kepala daerah yang memegang kewenangan pengelolaan.
“Ini menyebabkan karst yang berkarateristik sama, kawasan lindung di satu daerah tetapi jadi budidaya di daerah lain,” katanya, belum lama ini.
Penyebab lain, katanya, karena belum ada peraturan perundangan soal operasionalisasi konservasi bentang alam di Indonesia. Peraturan yang ada, lebih mengatur konservasi biodiversitas dan budaya.
“Begitu banyak pengajuan surat izin pertambangan batu gamping di Jawa, juga berkontribusi terhadap kerusakan karst. Sifat industri berbasis batu gamping, cenderung mendekatkan pasar dengan bahan baku menyebabkan investor saling berlomba investasi tambang hingga kerusakan karst banyak di Jawa,” katanya.
Setidaknya, 20% dari luas 1.228.538,5 hektar karst di Jawa, mengalami kerusakan. Kerusakan terjadi menyebar di sejumlah kawasan di Jawa, terbesar Jawa Timur, diikuti Jawa Barat lalu Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Upaya pelestarian karst, katanya, penting karena selain berfungsi sebagai kantong penyimpan cadangan air bersih, karst menjadi daerah serapan karbon. Bentang alam karst, katanya, mampu menyerap karbon yang mencemari udara dalam jumlah besar, yaitu 13,482 giga gram per tahun.
Harus komprehensif
Guna menahan laju kerusakan karst, kata Eko, dalam penetapan kebijakan pengelolaan harus komprehensif. Kriteria penetapan fungsi lindung sebaiknya tak hanya pada kriteria teknis seperti saat ini. Kriteria ini, tak efektif di era otonomi daerah.
Kriteria-kriteria hanya berbasis pada teknis cenderung memicu konflik dalam implementasi.
“Kriteria karst teknis perlu dipadukan dengan kriteria relatif berbasis kepentingan dan keunikan,” kata dosen Departemen Geografi Lingkungan Universitas Gadjah Mada ini.
Nilai kepentingan, menyangkut tata ruang dan konflik pemanfaatan lahan. Sedang nilai keunikan berbasis kriteria teknis terkait perkembangan morfologi, hidrologi, dan hidrogeologi karst.
Kawasan karst dengan konflik pemanfaat tinggi dapat dinilai memiliki kepentingan tinggi jadi kawasan lindung. Karst dengan perkembangan lanjut umumnya mempunyai keunikan tinggi juga buat fungsi lindung. Karst budidaya, katanya, diarahkan ke kawasan yang belum berkembang dengan konflik pemanfaatan rendah.
“Kepentingan yang dimaksud harus mempertimbangkan skala dan kedetilan informasi. Penetapan lindung dapat diusulkan melalui tahapan kawasan lindung dengan kepentingan nasional dan lindung dengan kepentingan pulau atau provinsi,” katanya.
Secara nasional, ucap Eko, pemerintah pusat harus menetapkan kawasan karst yang memiliki kepentingan dan keunikan tinggi. Skala provinsi, penetapan kawasan lindung berdasarkan keunikan dan kepentingan provinsi.
Dia menekankan, perlu penyusunan peraturan perundangan mengatur operasionalisasi konservasi berbasis geodiversitas. Aturan itu penting, agar pengelolaan karst memiliki pijakan hukum kuat.
Selain itu, skema pengelolaan kawasan lindung di bawah UNESCO seperti warisan dunia atau cagar biosfer perlu didorong dalam perlindungan karst yang memiliki nilai unggul.
Penyusunan kriteria spasial, katanya, juga mendesak, terkait penetapan pemilihan goa wisata alam. Wisata goa massal, kata Eko, sebaiknya hanya di goa-goa yang mempunyai energi tinggi dengan sirkulasi udara terhubung dengan udara luar. “Goa umumnya memiliki daya dukung lebih tinggi untuk menampung wisatawan.”
Petrasa Wacana, Koordinator Bidang Konservasi, Advokasi dan Kampanye Masyarakat Speleologi Indonesia (MSI) mengatakan, pemerintah harus menyelamatkan karst yang banyak terancam investasi semen terutama di Jawa.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) merekomendasikan, pelaku Industri semen tak menambah investasi. Pemerintah, harus melihat potensi karst secara holistik. Kawasan ini, katanya, memiliki nilai lebih besar di masa mendatang daripada harus ditambang.
“Pemerintah harus membuat moratorium karst, membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis untuk karst, menetapkan kawasan bentang alam sebagai upaya perlindungan, mengesahkan RPP Karst sudah berjalan lebih lima tahun,” katanya.
Dia bilang, Indonesia bisa belajar dari Tiongkok. Pada 2010, Tiongkok menutup 726 industri semen karena jadi penyumbang polutan terbesar. Negara ini memilih melindungi karst daripada mengorbankan. Kondisi terbalik di Indonesia, justru mengundang industri penyumbang polutan terbesar.
Dia menawarkan solusi penyelamatan karst, sebagai ekowisata. Pemerintah, swasta dan masyarakat, bisa menjadikan karst sebagai ekowisata dengan konsep menjual, melihat daya dukung, sarana dan prasarana, dan akses.
Teknologi saat ini, katanya, dapat membantu mempromosikan lokasi wisata, seperti lewat sosial media. Mengembangkan ekowisata, kata Petrasa, harus melibatkan peran aktif masyarakat sekitar karst.
“Ekowisata yang baik jika ada keseimbangan antara daya dukung, bermanfaat bagi masyarakat, ada perlindungan dan edukasi kepada pengunjung bagaimana karst punya nilai lebih.”
Moratorium perizinan tambang
Merujuk Peraturan Pemerintah soal rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN) mengatur perlindungan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) sebagai kawasan lindung geologi.
Petrasa mengatakan, baru empat wilayah sebagai KBAK berdasarkan Permen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No17 tahun 2012 yakni kawasan karst Gombong, Gunung Sewu, Sukolilo, dan Pangkalan. Yang lain, seperti di Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku, banyak kawasan karst belum ada penetapan.
Parahnya, belum ada penetapan tetapi pemerintah sudah lebih dulu memberikan izin kepada investor, hingga batas KBAK berdasarkan penelitian yang diprakarsai investor atau permintaan pemodal lebih dominan.
“Moratorium penting untuk bisa memastikan apakah wilayah batugamping bisa ditambang atau tidak,” katanya.
Izin-izin tambang yang sudah keluar, katanya, pasti mengabaikan kawasan karst hingga mencoba menghindari wilayah yang masuk dalam KBAK. Dari empat KBAK, hampir semua pasca keluar aturan KBAK.
Menurut dia, peran speleologi selama ini tak pernah diperhitungkan dan tak dilibatkan dalam penelitian penentuan KBAK.
“Hingga dilihat dari sisi geologi, namanya potensi adalah berapa kubik batuan yang bisa ditambang dan bernilai ekonomis, tak melihat geologi sebagai ilmu sains,” ujar dia.
Dia sebagai geologist, melihat potensi karst dari sisi berbeda. “Kami di ISS akan berkontribusi membuktikan, suatu kawasan karst memiliki fungsi ekologis lebih besar dan bermanfaat besar daripada ditambang.”
Sumber : mongabay.co.id