Minim Efek Jera, Penyelundupan Telur Penyu Masih Terjadi
Share
Berakhir sudah petualangan Way Bujang (inisial) di Singkawang, Kalimantan Barat. Lelaki asal Tambelan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau itu diamankan Kepolisian Resor Kota (Polresta) Singkawang di Pelabuhan Sedau, Kecamatan Singkawang Selatan, Selasa (21/4/2015), ketika hendak menyeludupkan telur penyu sebanyak 9.000 butir.
Rencananya, telur penyu itu akan dibawa ke Malaysia. Telur-telur tersebut dikemas dalam kotak berukuran 30 x 40 cm sebanyak 12 buah dengan bungkus plastik. Masing-masing kotak berisi 200 hingga 250 telur penyu. “Saya datang ke Kota Singkawang dengan motor air. Sudah sering ke sini untuk berbelanja lantaran jaraknya dari Tembelan lebih dekat ketimbang ke Ibukota Kepulauan Riau,” ujar Way.
Ayah empat anak ini mengaku mendapat tawaran membawa telur penyu ke Singkawang dari seseorang bernama Eli Firman. Menurut penjelasan Eli kepada Way, motor air yang akan mengangkut telur penyu bawaannya tak kunjung datang. Khawatir telur-telur membusuk, Eli merayu Way untuk mengangkutnya. Dengan komisi Rp50 ribu per kotak, Way pun menggeleng setuju. “Saya tidak menolak karena saya tidak tahu bila perbuatan ini dilarang dan bisa berujung penjara,” akunya.
Menurut penuturan Way, di Tambelan tempatnya, warga diperbolehkan mengkonsumsi telur penyu. “Ternyata, aturan ini berbeda,” ujar lelaki 50 tahun itu. “Saat telur-telur penyu akan dimasukkan mobil, Way kami tangkap. Menurut pengakuannya, ia tidak tahu kalau menjual telur penyu itu perbuatan yang dilarang. Kami masih selidiki, apakah tersangka merupakan jaringan penjualan telur penyu atau bukan,” ujar Kepala Kepolisian Resor Kota Singkawang, Ajun Komisaris Besar Polisi Agus Triatmaja.
Agus menjelaskan, penyergapan berawal dari laporan masyarakat mengenai tersangka yang kesehariannya mengaku sebagai nelayan. Saat ditangkap, Way mengaku ribuan telur tersebut bukan miliknya. “Telur dibawa dari Tambelan ke Singkawang, agaknya akan dijual ke Malaysia,” jelas Agus.
Polisi akan menjerat tersangka dengan pasal 40 ayat (2) juncto Pasal 21 huruf e Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. “Ancaman hukumannya paling lama lima tahun penjara,” jelasnya.
Meski demikian, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono, pesimis bila vonis hukum akan dijatuhkan maksimal. “Ini penangkapan ke tiga kalinya. Yang terakhir, ditangani Polres Bengkayang, hanya diputus sebulan penjara oleh pengadilan negeri setempat,” ujarnya, Jumat (24/5).
Hukuman yang ringan itu, kata Sustyo, sudah pasti belum memberikan efek jera bagi pelaku. Terlebih, penjualan telur penyu memiliki magnet yang kuat dari sisi ekonomi. Sebutir telur bisa mencapai 5-8 Ringgit Malaysia atau 18-28 ribu rupiah per butirnya. “Penindakan ini juga dilematis, kebanyakan pelaku adalah orang miskin, bahkan ibu-ibu kepala keluarga. Namun, hukum harus ditegakkan dan diusut hingga ke pemodalnya.”
Sustyo berharap, revisi UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem segera beres. Tahun 2013, Kementerian Kehutanan (saat itu) mengumumkan draf revisi UU Konservasi menjadi Undang-Undang Keanekaragaman Hayati telah berjalan. Di sana, diatur lebih detil tata cara pengelolaan spesies hingga ke tingkat genetiknya. “UU ini akan menggantikan UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Dalam Undang-undang ini, diusulkan agar hukuman bagi pelanggar UU Konservasi diperberat,” tukasnya.
Sumber : mongabay.co.id