Mengungkap Rapor Konservasi Gunung Abang
Share
Di bawah kesejukan rumpun bambu Camping Ground Baung Canyon-TWA Gunung Baung, udara pagi terasa berbeda pada Senin, 24 November 2025. Di pendopo sederhana yang dikelilingi suara gesekan rumpun bambu, berbagai unsur pengelola dan stakeholder terkait berkumpul untuk satu misi penting, yaitu menilai kembali kesehatan ekologis Cagar Alam Gunung Abang melalui instrumen global METT Ver. 4.
Suasana pertemuan itu bukan sekadar formalitas rutin, melainkan perjumpaan berbagai kepentingan yang disatukan oleh satu visi, untuk memastikan Gunung Abang tetap menjadi benteng keanekaragaman hayati Jawa Timur. Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Malang berdiskusi akrab dengan pengelola Hutan KPH Pasuruan.
Para kepala desa dari Sapulante, Ampelsari, dan Kedungpengaron duduk sejajar dengan para Masyarakat Pemerhati Alam, MPA Gunung Abang Ampelsari, Sapulante, dan Kedungpengaron. Hadir pula perwakilan pemerintah dari kecamatan, kepolisian, dan TNI yang selama ini menjadi mitra lapangan dalam perlindungan kawasan.
Kegiatan dibuka oleh Kepala Bidang KSDA Wilayah III Jember, yang menegaskan bahwa penilaian ini adalah bagian penting dari proses adaptif pengelolaan kawasan konservasi. METT bukan hanya angka, tetapi cermin yang memantulkan seberapa jauh langkah-langkah perlindungan selama ini berjalan, dan sejauh mana kita perlu memperbaikinya.
Hasil penilaian kemudian mengerucut pada angka 65,71%, menempatkan Cagar Alam Gunung Abang dalam kategori kurang efektif. Angka ini menggugah banyak pihak, bukan karena kelemahan semata, tetapi karena ia memperlihatkan potret jujur dari dinamika konservasi di lapangan. Di satu sisi, perencanaan kawasan justru berada pada tingkat sangat kuat, sebuah fondasi yang kokoh untuk membangun strategi jangka panjang.
Namun pada sisi lain, keterbatasan peralatan, anggaran, dan jumlah personel menjadi tantangan nyata yang menghambat pengelolaan berjalan optimal. Meski begitu, proses-proses konservasi di lapangan masih menunjukkan denyut yang hidup.
Kolaborasi dengan masyarakat lokal, kegiatan edukasi, monitoring, riset, hingga penegakan perlindungan kawasan terus berjalan dengan komitmen tinggi. Nilai outcome yang mencapai 77,78% memperlihatkan bahwa inti ekosistem Gunung Abang, yaitu habitat, spesies indikator kunci, serta nilai budaya dan alaminya, masih dalam kondisi yang baik. Hutan ini masih berdiri sebagai ruang hidup satwa liar, sebagai reservoir air, dan sebagai lanskap spiritual bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Namun laporan ini juga mengingatkan bahwa kekuatan ekosistem tidak boleh membuat kita lengah. Fasilitas umum, manfaat bagi masyarakat lokal, hingga respons terhadap ancaman yang terus berkembang masih membutuhkan penguatan. Gunung Abang adalah hutan yang memerlukan lebih banyak tangan penjaga, lebih banyak dukungan, dan lebih banyak ruang kolaborasi.
Di akhir pertemuan, para peserta tampak menyadari hal yang sama, bahwa angka 65,71% bukanlah akhir, melainkan arah baru. Hasil METT ini menjadi kompas yang menuntun pengelola untuk menutup celah-celah kelemahan, memperkuat sinergi dengan masyarakat, serta mengarahkan langkah perbaikan yang lebih terukur dan tepat sasaran.
Gunung Abang telah memberikan kita udara, air, dan kehidupan. Penilaian hari itu mengingatkan bahwa menjaga alam bukan sekadar kewajiban institusi, tetapi perwujudan rasa syukur sekaligus amanah lintas generasi. Kawasan ini tetap menunggu komitmen kita untuk terus merawat, memperbaiki, dan memastikan bahwa kelestariannya tidak berhenti di hari ini saja, tetapi mengalir hingga masa depan. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah 3 Jember – Balai Besar KSDA Jawa Timur

