Mendengarkan Bisikan Gua Nglirip
Share

Di balik rimbun dedaunan tua dan akar yang menjerat bumi, Cagar Alam Gua Nglirip tak hanya menyimpan dongeng masa lalu. Ia menyimpan kehidupan, bernafas dalam senyap, bergerak dalam bayang, dan berbicara dalam bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka yang bersedia berjalan pelan, mendengarkan, dan membaca jejak.
Pada 3–4 Juni 2025, sebuah tim kecil berjalan menyusuri denyut jantung kawasan ini, tak hanya dengan langkah, tapi dengan ilmu, keberanian, dan hati. Di tengah mereka berdiri Tri Wahyu Widodo, Pengendali Ekosistem Hutan, sang mata rimba, sang pembaca makna alam.
Dari Bojonegoro, tim berangkat dengan sepeda motor, menembus perbukitan dan jalanan tanah hingga tiba di Pos RKW 04. Dari sana, perjalanan berlanjut dengan berjalan kaki. Sunyi menyambut, dan rimba membuka gerbangnya, bukan kepada sembarang orang, tapi kepada mereka yang datang dengan niat menjaga.
Tri Wahyu Widodo, lebih dari sekadar petugas, ia adalah penjaga pengetahuan. Di tangannya, sehelai daun tak sekadar hijau, melainkan potongan sejarah ekosistem.
Setiap kicauan burung, setiap suara ranting patah, dibacanya seperti kalimat dalam buku tua yang tak semua orang bisa pahami. Dengan mata tajam dan napas teratur, ia berjalan bersama mengamati keanekaragaman hayati di grid 03 hingga 06.
Bersamanya, tim gabungan dari SKW II, RKW 04, Polisi Kehutanan, Penyuluh Kehutanan dan Masyarakat Mitra Polhut (MMP), menyatu dalam langkah yang sama, menjaga kehidupan.
Jejak yang Tak Terucap, Tapi Terlihat
Hutan memberi tanda-tanda ketika Seekor Cinenen pisang melompat cepat dari semak, Madu Sriganti menghisap nektar terakhir sebelum senja dan Wiwik Kelabu memecah keheningan dengan nyanyian serak yang seolah datang dari masa lalu. Kadalan birah, Cekakak jawa, Bondol jawa, Kutilang, hingga Ular tali picis dan Kongkang kolam, satu per satu menunjukkan bahwa kawasan ini masih terjaga.
Tri Wahyu dan tim mencatat semuanya, tidak hanya dengan pena, tapi dengan pengalaman dan kecintaan yang sudah terpatri selama bertahun-tahun di dunia konservasi. Ia menyentuh batang pohon Jati, Sengon, Kepuh, Kedoya, dan mengukur tinggi serta kelilingnya.
Ia mengenali Cincau hijau, Sambiloto, Katuk, dan Rawe hanya dari bentuk daunnya yang menari pelan ditiup angin senja. Setiap spesies yang ia temui bukan sekadar nama, tapi bagian dari lanskap yang harus tetap dijaga kelestariannya.
Simfoni Sunyi Konservasi
Sementara Polhut mengawal jalur, memastikan tak ada jejak pelanggaran hukum, Penyuluh Kehutanan menyampaikan makna hutan kepada mitra dari desa, menjadikan konservasi bukan hanya tugas negara, tapi bagian dari jiwa masyarakat.
Tak ditemukan satu pun pelanggaran hukum. Semua pal batas masih tegak berdiri, seolah menyapa dengan diam, mengucapkan terima kasih kepada mereka yang datang bukan untuk mengambil, tapi menjaga.
Dan di tengah semuanya, Tri Wahyu Widodo berdiri sebagai mata dan telinga hutan. Ia membaca, mencatat, dan menyampaikan isi hati alam liar kepada manusia modern yang kerap lupa cara mendengarkan.
Mungkin tak banyak orang yang tahu nama-nama burung kecil itu. Atau peduli akan diameter batang pohon yang disusuri garis ukur. Tapi bila suatu hari nanti, anak-anak kita masih bisa mendengar cekakak sungai bersahutan di senja Gua Nglirip, itu karena ada mereka yang berjalan di hari ini, dalam diam, dalam sunyi, demi sebuah kehidupan yang terus berdenyut di dalam hutan.
Gua Nglirip memang penuh misteri. Tapi tak ada misteri yang lebih dalam dari kerja sunyi para penjaga alam, yang memilih berjalan jauh agar kehidupan tetap dekat. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah 1 Madiun – Balai Besar KSDA Jawa Timur