Type to search

Artikel

Mencari Auman yang Tak Muncul, Misteri Hutan Dataran Tinggi Yang

Share

Probolinggo, 25 April 2025. Sebanyak 160 kamera dipasang, 30 ribu hari rekam dikumpulkan, lebih dari 20 spesies satwa terpantau. Tapi sang predator puncak tak kunjung muncul.

Macan tutul itu tak terlihat di kamera trap. Padahal, 160 kamera trap telah tersebar di 80 petak survei kawasan hutan Dataran Tinggi Yang, kawasan yang membentang di ketinggian sekitar lereng Argopuro, wilayah timur Jawa.

Sejak Desember 2024, tim Java-Wide Leopard Survey (JWLS) bersama BBKSDA Jawa Timur – Kementerian Kehutanan bekerja dalam senyap. Hutan ditelusuri, suara burung, tapak satwa, dan rimbun kabut pagi menjadi saksi kerja konservasi selama lebih dari enam bulan.

Namun hingga Juli 2025, tak satu pun dari 158 kamera yang berhasil diambil kembali berhasil menangkap citra sang Panthera. Justru yang muncul adalah wajah-wajah lain seperti Trenggiling, Kucing Hutan, Lutung Emas, Rusa Timor, bahkan Linsang, si predator kecil nan langka. Satwa-satwa ini mungkin menjadi pertanda bahwa hutan masih hidup, namun predator teratasnya tak menampakan dirinya.

Di sebuah sesi evaluasi pada awal Juli lalu, BBKSDA Jawa Timur dan Yayasan SINTAS Indonesia menyampaikan hasil sementara survei. Data lapangan cukup rinci, dimana dua kamera kembali hilang di Grid M12, Desa Kalianan, Probolinggo. Saat dicek, hanya kawat sling dan webbing yang tersisa. Apakah dirusak manusia? Atau binatang besar? Tak ada saksi. Tak ada suara.

Kegiatan survei ini merupakan bagian dari program besar, untuk pembaruan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Macan Tutul Jawa. Dataran Tinggi Yang menjadi satu dari sekian banyak bentang alam di Jawa yang masuk skema JWLS. Dari data satelit, hutan ini masih terkoneksi. Tapi dari lapangan, ceritanya berbeda.

Gangguan ditemukan di banyak titik, pemburu burung bersenapan angin, aktivitas logging kecil-kecilan, dan kendaraan bermotor yang menembus jantung kawasan. Tim juga mencatat tanda-tanda pemasangan jerat dan jejak manusia dalam frekuensi yang tak biasa.

Secara terpisah, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nur Patria Kurniawan, menyampaikan apresiasi pada seluruh tim.

“JWLS di Dataran Tinggi Yang menunjukkan kolaborasi efektif lintas sektor. Tapi hasil ini juga alarm bagi kita. Jika predator puncak tidak terlihat, kita harus bertanya, apa yang salah dengan habitatnya?” ungkapnya.

JWLS di kawasan ini memang belum selesai, masih ada proses analisis data lebih lanjut. Tapi absennya sang predator, dengan teknologi sebanyak itu, mengundang tanya besar. Apakah populasinya telah menurun? Ataukah mereka enggan menampakkan dirinya di depan kamera?

Sementara itu, ancaman di hutan terus berjalan. Suara ranting patah dan deru knalpot bisa jadi lebih sering terdengar ketimbang auman. Jika kondisi ini tak segera ditangani, bukan mustahil, macan tutul di Dataran Tinggi Yang akan benar-benar hanya tinggal nama. Mari kita jaga dan lestarikan bersama habitat macan tutul jawa. Salam lestari.

Terima kasih tak terhingga kepada deretan kolaborator: BBKSDA Jatim, SINTAS Indonesia, Pengko Jatim, FK3I Jatim, Yayasan Koorders, Yayasan Kanopi Indonesia, Peka Muria, MPALH-UNP, Mapala Balwana, dan Mahasmapala.

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur

Tags:

You Might also Like