Type to search

Artikel

Lutung Jawa, Simpul Keanekaragaman Hayati Pulau Sempu

Share

Malang, 8 Desember 2025. Cagar Alam Pulau Sempu merupakan salah satu kawasan konservasi paling penting dan sensitif di Jawa Timur, baik secara ekologis maupun ilmiah. Keberadaannya sebagai pulau karst terisolasi memberikan kesempatan unik untuk mempelajari dinamika ekosistem tropis dataran rendah yang relatif tidak terganggu.

Pada tahun 2025, Balai Besar KSDA Jawa Timur melaksanakan kegiatan Survey Monitoring Lima Taksa dengan fokus utama pada Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), salah satu primata endemik yang status konservasinya kini berada dalam kategori Vulnerable menurut IUCN Red List.

Pulau Sempu ditetapkan sebagai Cagar Alam sejak tahun 1928 dan kini memiliki luas 969,88 hektare. Secara geomorfologis, pulau ini dibentuk oleh bentang karst meosine dengan topografi berbukit, tebing-tebing terjal setinggi 50–100 meter di sisi selatan, serta selat sempit di sisi utara yang memisahkannya dari Pulau Jawa. Kondisi ini menciptakan ekosistem yang terisolasi secara alami, sebuah fenomena penting dalam kajian biogeografi terutama pada dinamika spesies endemik dan kecil-populasi seperti Lutung Jawa.

Lima tipe ekosistem besar, yang terdiri dari hutan tropis dataran rendah, hutan mangrove, hutan pantai, danau/telaga air tawar, serta sistem karst, membentuk mosaik ekologis yang kompleks. Hutan tropis dataran rendah mendominasi bagian tengah pulau dan menjadi habitat utama Lutung Jawa. Struktur multi-lapis dengan keberadaan pohon-pohon besar seperti Artocarpus elasticus, Pterospermum javanicum, Garcinia celebica, Vitex pinnata, dan Ficus spp. menyediakan sumber pakan, ruang jelajah, dan pohon tidur yang stabil bagi primata ini.

Karakter ekologi pulau yang relatif tertutup menjadikan Sempu sebagai lokasi ideal untuk mempelajari perilaku, struktur sosial, dan dinamika populasi Lutung Jawa tanpa gangguan antropogenik yang dominan, berbeda dari kondisi di daratan Jawa yang mengalami fragmentasi habitat berat.

Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) adalah primata dari subfamili Colobinae yang dikenal sebagai pemakan daun (folivorous). Adaptasi mereka pada sumber pakan berkualitas protein tinggi tercermin dalam preferensi pada daun muda, pucuk, dan beberapa jenis buah. Studi sebelumnya menunjukkan komposisi pakan terdiri atas 50–53% daun, 30–40% pucuk daun, dan sisanya buah serta bahan tumbuhan lain.

Perilaku harian Lutung Jawa yang teramati dalam survey 2025 konsisten dengan literatur klasik: aktivitas dimulai sekitar pukul 05.30 dan berakhir sebelum pukul 18.00. Proporsi aktivitas mencakup istirahat sekitar 42%, makan 23%, bergerak 22%, dan sisanya interaksi sosial serta aktivitas vokalisasi. Pola diurnal dan arboreal ini memperlihatkan ketergantungan tinggi pada stratifikasi tajuk pohon.

Secara sosial, Lutung Jawa membentuk kelompok one male–multi female, masing-masing dengan 6–23 individu. Struktur ini stabil selama kondisi lingkungan mendukung. Pada kelompok ini, jantan dominan bertanggung jawab pada pengawasan wilayah, mempertahankan hierarki, dan melindungi betina serta anakan.

Perilaku reproduksi juga mengikuti pola primata daun lainnya, anakan lahir dengan warna jingga cerah, berperan sebagai penanda visual bagi anggota kelompok; warna ini berangsur menghilang sekitar umur enam bulan. Fenomena ini memberi indikasi penting terkait keberhasilan reproduksi kelompok lutung di pulau.

Pelaksanaan monitoring 2025 menggunakan pendekatan kombinasi line transect dan belt transect, metodologi umum dalam kajian primata liar. Sembilan jalur transek dibangun, mencakup ekosistem utama dalam pulau untuk memastikan representasi spasial yang memadai. Analisis dilakukan dengan mencatat data jumlah individu teramati, komposisi usia dan jenis kelamin, perilaku harian, lokasi perjumpaan menggunakan GPS, vegetasi sekitar lokasi, dan gangguan kawasan yang mungkin berpengaruh.

Dengan transek yang tersebar dari Teluk Waru-waru hingga jalur menuju Segara Anakan, tim dapat memetakan secara rinci sebaran lutung, termasuk deteksi kelompok-kelompok yang belum tercatat pada survei sebelumnya. Selain itu, penggunaan GPS dan peta topografi memberikan data keruangan yang akurat mengenai preferensi habitat mikro dan pola jelajah harian.

Hasil survei juga dilengkapi analisis kesesuaian habitat yang melibatkan identifikasi pohon pakan dominan dan lokasi pohon tidur. Temuan visual berupa foto lutung memakan buah Ficus variegata muda menegaskan pentingnya genus Ficus sebagai pilar tatanan ekologi lutung.

Analisis data transek menunjukkan bahwa keberadaan Lutung Jawa di Cagar Alam Pulau Sempu tidak hanya stabil, tetapi juga menunjukkan persebaran spasial yang konsisten dengan ketersediaan pakan dan struktur vegetasi. Kelompok-kelompok lutung terdeteksi pada banyak sektor pulau, terutama di area hutan tropis dataran rendah yang berkanopi lebat. Kondisi ini mempertegas bahwa pulau memberikan habitat optimal bagi jenis ini.

Distribusi spasial lutung yang terkonsentrasi pada jalur-jalur dengan kanopi rapat menunjukkan adanya hubungan langsung antara densitas kelompok dan kualitas habitat. Ketersediaan pohon pakan, terutama dari genus Ficus, Artocarpus, dan Vitex, sangat berperan dalam pola persebaran ini. Pohon-pohon dengan tajuk rimbun yang saling terhubung memfasilitasi pergerakan lutung yang lebih aman dan efisien.

Keberadaan kelompok lutung di dekat ekosistem mangrove dan hutan pantai menandakan kemampuan adaptasi spasial, meski habitat inti tetap berada di hutan dataran rendah bagian tengah pulau. Kondisi vegetasi yang relatif tidak terganggu oleh aktivitas manusia menjadi faktor penting yang mendukung kestabilan populasi lutung.

Meskipun Pulau Sempu memberikan perlindungan alami yang sangat efektif, ancaman tetap mengintai dari luar kawasan. Isolasi geografis pulau menciptakan populasi lutung yang terpisah secara genetis dari populasi di Pulau Jawa. Tanpa konektivitas habitat, populasi dalam pulau memiliki risiko erosi keragaman genetika, terutama jika jumlah kelompok tidak bertambah secara signifikan.

Di sisi lain, tekanan bagi populasi lutung di daratan Jawa lebih berat, fragmentasi hutan, perburuan, perdagangan ilegal, dan konversi lahan yang cepat menggerus ruang gerak mereka. Data nasional menunjukkan penurunan populasi primata folivora ini lebih dari 30% dalam kurun 3 generasi. Kondisi populasi di Sempu yang stabil justru menjadi kontras terhadap dinamika negatif di wilayah daratan.

Selain itu, perubahan iklim, potensi kebakaran hutan, dan kerentanan karst terhadap gangguan hidrologis juga menjadi ancaman jangka panjang. Ekologi karst sangat bergantung pada vegetasi penutup untuk fungsi infiltrasi dan kestabilan tanah. Gangguan kecil dapat berdampak signifikan pada ketersediaan air di hutan, yang kemudian mempengaruhi vegetasi dan satwa.

Sebagai primata folivora dan frugivora sekunder, Lutung Jawa memainkan peran penting dalam dinamika ekosistem Sempu. Aktivitas makan mereka berkontribusi pada regenerasi vegetasi melalui penyebaran biji, terutama dari buah Ficus dan beberapa spesies pohon lokal lainnya. Pergerakan mereka yang melintasi berbagai strata tajuk memastikan distribusi biji ke area-area yang tidak dapat dijangkau oleh satwa pemakan buah lain.

Selain itu, aktivitas jelajah lutung menciptakan jalur-jalur alami dalam tajuk yang membantu cahaya matahari mencapai vegetasi bawah, meningkatkan heterogenitas struktural hutan. Sebagai indikator ekologis, keberadaan mereka juga mencerminkan kesehatan ekosistem: populasi lutung yang stabil mengindikasikan keutuhan vegetasi pakan dan minimnya gangguan langsung manusia.

Peran lutung sebagai komponen rantai ekosistem juga penting. Mereka menjadi bagian dari keseimbangan fauna pulau, bersama dengan mamalia lain seperti kijang, kucing hutan, dan berbagai jenis burung pemangsa. Keberadaan lutung menegakkan fungsi ekologis yang jauh lebih besar dari sekadar keberadaan spesies.

Hasil monitoring tahun 2025 memberikan kesimpulan kuat bahwa Pulau Sempu adalah refugia penting bagi Lutung Jawa di wilayah Jawa Timur. Kondisi ekologis pulau yang stabil, minim gangguan antropogenik, dan kaya vegetasi pakan menjadikan kawasan ini laboratorium alam yang ideal untuk keberlanjutan jangka panjang populasi lutung.

Namun demikian, keberlanjutan ini tidak boleh dianggap permanen. Isolasi pulau, ancaman eksternal dari daratan Jawa, dan dinamika perubahan iklim global perlu diantisipasi melalui strategi konservasi berbasis data jangka panjang.

Upaya BBKSDA Jawa Timur melalui monitoring rutin, penguatan perlindungan kawasan, dan kerja sama dengan lembaga akademis serta Pusat Rehabilitasi Lutung Jawa menjadi pondasi penting dalam menjaga keberlangsungan ekologis Sempu. Dengan pendekatan ilmiah, kolaboratif, dan adaptif, Pulau Sempu dapat terus menjadi benteng terakhir yang melindungi Lutung Jawa serta keanekaragaman hayati lainnya. (dna)

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, PEH Ahli Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur

Tags:

You Might also Like