Konservasi Babi Kutil Bawean
Share
Babi Kutil Bawean (Sus verrucosus blouchi) pada awalnya merupakan subjenis dari Babi Kutil Jawa, keduanya merupakan jenis endemik. Namun pada tahun 2011 babi kutil bawean ditetapkan menjadi jenis tersendiri. Keputusan tersebut menyebabkan babi kutil Bawean menjadi jenis babi paling langka di dunia dan berada pada posisi yang sama dengan babi kutil visayan dan pigmy hog. Terlebih, informasi mengenai keberadaan babi kutil Bawean sangat minim.
Pada tahun 2015, BEKI atau Bawean Endemik Konservasi Inisiatif melakukan penelitian untuk mengetahui kepadatan dan biologi babi kutil, juga persepsi masyarakat setempat terhadap keberadaan babi kutil. Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah individu babi kutil di pulau Bawean diperkirakan sekitar 377 individu dengan jumlah usia produktif dibawah 250 individu. Hal tersebut menjadikan babi kutil Bawean masuk kedalam kategori Endangered atau terancam pada IUCN Redlist. Status babi kutil Bawean sendiri di Indonesia belum termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi, sehingga peran aktif masyarakat pulau Bawean sangat dibutuhkan untuk menjaga kelestarian babi kutil tersebut.
Sampai dengan saat ini, sebagian besar masyarakat Pulau Bawean masih beranggapan bahwa babi kutil merupakan salah satu jenis hama pertanian. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh tim BEKI, babi kutil berada di posisi ke-4 sebagai hewan yang paling dibenci dan merugikan pertanian. Posisi pertama ditempati oleh berbagai jenis serangga, kemudian monyet, dan tikus dengan rata-rata jumlah kerusakan mencapai 44 % untuk buah-buahan dan 30 % untuk tanaman pangan.
Berdasarkan hasil wawancara juga diketahui bahwa untuk mengurangi resiko kerusakan yang disebabkan oleh babi kutil, sebanyak 66% reponden wawancara mengaku melakukan perburuan babi, 44% memasang alat jebak, dan 22% mengundang pemburu atau melempari babi dengan batu, dan hanya 11% responden yang memilih melindungi kebun mereka dengan menggunakan jaring. Adanya anggapan sebagian besar masyarakat bahwa mitigasi konflik secara invasive atau melukai hewan “hama” lebih efektif dalam melindungi kebun mereka, sangat berbahaya bagi upaya konservasi babi kutil bawean. Apabila hal ini terus dibiarkan, tidak mengherankan jika dalam beberapa tahun kedepan keberadaan babi kutil di Pulau Bawean hanya tinggal sejarah .
Hasil studi, menunjukkan bahwa terdapat beberapa metode mitigasi konflik yang tidak membahayakan kelangsungan hidup satwa (babi kutil), misalnya dengan mamasangi pagar ataupun membangun parit kecil disekitar areal perkebunan masyarakat. Mitigasi jangka pendek memang cukup sulit dilakukan karena jumlah petani tidak sebanyak dahulu sehingga pembuatan pagar dan parit dirasa cukup memberatkan. Metode mitigasi konflik yang perlu dipertimbangkan untuk jangka panjang adalah dengan tetap menjaga kelestarian kawasan hutan yang menjadi habitat babi kutil dan berbagai jenis satwa lainnya, selanjutnya dibuat buffer zone (zona penyangga) di sekeliling kawasan hutan tersebut, sehingga persebaran satwa khususnya babi kutil terbatas pada kawasan buffer. Apabila dikemudian hari jumlah hewan target (babi kutil) mengalami over populasi, dapat dilakukan pengendalian populasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Upaya konservasi babi kutil bawean bukan hanya menjadi tanggung jawab segelintir pihak, namun merupakan tanggung jawab bersama dalam rangka menjaga keanekaragaman hayati di bumi Indonesia. Melalui kerjasama yang baik dengan melibatkan berbagai pihak, kelestarian babi kutil bawean akan tetap terjaga.
Biologi konservasi dalam arti sesungguhnya adalah ilmu lintas disiplin yang dikembangkan untuk menghadapi berbagai tantangan demi melindungi spesies dan ekosistem. Dalam praktiknya konservasi bukan hanya melindungi dan mengawetkan tetapi juga memanfaatkan secara berkelanjutan agar kebutuhan manusia dan kelestarian alam terpenuhi secara seimbang. Melindungi alam bukan berarti mengesampingkan kepentingan masyarakat lokal, konservasi baru dianggap berhasil apabila mampu menjembatani dua kepentingan tersebut.
Penulis :
Shafia Zahra(1), Mark Rademaker(1), Arief Adhi Pratama(2)
(1) Bawean Endemik Konservasi Inisiatif (BEKI)
(2) Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur