Type to search

Berita

Kementerian LHK Luncurkan Dokumen FREL dan BUR

Share

2175361-300x150

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah meluncurkan dua dokumen, yaitu Forest Reference Emissopn Level (FREL) dan Biennial Update Report (BUR). Kedua dokumen ini akan diserahkan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Dokumen FREL yang disusun Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian LHK adalah penyempurnaan dokumen sebelumnya yang dibangun tiga inisiasi terpisah, yaitu Second National Communication (SNC) pada 2011, dokumen Kementerian LHK 2014 sesuai SK Menhut 633/2014 dan dokumen BP-REDD+ 2015. Dokumen ini juga dibutuhkan untuk memenuhi syarat Conference of Parties (COP) 21 di Paris, Desember mendatang.

“Ini sebagai salah satu syarat mengukur kinerja kami. Itu sebabnya FREL harus dibangun. FREL juga menjadi syarat karena sesuai panduan penilaian teknis penerapan prinsip-prinsip transparansi, akurasi, kelengkapan, dan konsistensi,” ucap Direktur Jenderal (Dirjen) PPI Nur Masripatin, Jumat (18/9).

FREL merupakan dokumen terkait REDD+ dan didesain dalam pendekatan kebijakan dan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca melalui deforestasi dan degradasi hutan. Tak hanya itu, ternyata FREL menjadi acuan atau syarat bagi result-based-payments berbagai aktivitas REDD+ di Indonesia.

FREL akan terlihat kualitasnya apabila Indonesia melakukan pendekatan bertahap. Memungkinkan peningkatan kualitas FREL tersebut dengan memasukkan data dan informasi yang lebih lengkap dan metodologi yang lebih baik.

Cakupan FREL di Indonesia pada 1990 memiliki tutupan hutan alam seluas 113,2 juta hektare atau 60 persen luas wilayah Indonesia. Tutupan hutan alami ini berada dalam kelas hutan primer dan sekunder.

Gas Rumah Kaca
Sementara itu, BUR adalah dokumen yang berisi pemutakhiran informasi mengenai inventarisasi gas rumah kaca (GRK) nasional, informasi kegiatan mitigasi, kebutuhan, dan dukungan yang diterima. Penyusunannya pun berbeda dengan FREL.

BUR disusun berdasarkan hasil konsultasi para pemangku kepentingan untuk menggali pendapat dan pandangan guna perbaikan. BUR dibuat dalam menanggapi tantangan perubahan iklim global.

Tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan komitmen mengurangi tingkat gas rumah kaca sebanyak 26 persen di bawah Business as Usual (BAU) pada 2020. Sementara itu, dalam Intended Nationally Determined Contributions (INDC) yang akan dibawa ke COP 21 di Paris mendatang, Indonesia berkomitmen menurunkan 29 persen gas rumah kaca.

“Jadi, yang 29 persen adalah janji kontriibusi jangka waktu 2020-2030, sedangkan yang 26 persen adalah komitmen Indonesia hingga 2020 mendatang. GRK 26 persen bagiannya adalah lane sector,ada bagian kehutanan, pertanian. Untuk ini, REDD+ konsisten dengan penggolongannya bukan bagian dari 26 persen itu,” ucap Nur.

Penurunan GRK sebanyak 26 persen tersenut menggunakan anggaran dalam negeri sebanyak 41 persen, dengan dukungan dari internasional. Ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 61/2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-GRK).

Data yang diperoleh dari Ditjen PPI, pengurangan emisi yang dicapai Indonesia pada 2010-2012 sekitar 41.290.000 ton karbon dioksida. Sebagian besar capaian pengurangan emisi yang telah dilaporkan hingga kini belum diverifikasi.

Agar emisi Indonesia yang ditargetkan bisa berjalan baik pengurangannya, Nur menyampaikan, tidak hanya pemerintah yang harus gencar, masyarakat serta perusahaan di berbagai bidang juga harus ikut membantu.

Sumber: hutanindonesia.com

Leave a Comment

Next Up