Type to search

Berita

Jejak Singkat, Makna Mendalam, Sepekan Bersama Konservasi di Pulau Bawean

Share

Hanya butuh satu minggu bagi Arlina Widhiastuti untuk merasakan bagaimana konservasi bukan sekadar wacana di ruang kelas, melainkan denyut kehidupan nyata di tengah masyarakat dan hutan Pulau Bawean. Mahasiswa yang sedang menjalani magang di Balai Besar KSDA Jawa Timur, Resort Konservasi Wilayah 10 Bawean mulai 21 hingga 27 September 2025 itu menuturkan, betapa singkatnya waktu yang ia habiskan, namun betapa mendalam kesan yang ia peroleh.

Menggali Kearifan Lokal: Traditional Ecological Knowledge
Hari-hari pertamanya dimulai dengan sebuah pengalaman yang jarang dimiliki mahasiswa sebayanya, menggali Traditional Ecological Knowledge (TEK) atau pengetahuan ekologi tradisional masyarakat Bawean. Bersama tim, Arlina turun langsung ke Kecamatan Tambak dan Sangkapura.

Ia duduk berhadapan dengan warga setempat, menyimak kisah yang dituturkan. Dari mereka, ia mendengar bagaimana dedaunan, akar, dan batang tanaman dijadikan obat turun-temurun. Kuesioner menjadi panduan, sementara percakapan dari hati ke hati membuka pintu kearifan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

“Wawancara ini memberi saya kesempatan berinteraksi langsung dengan masyarakat asli Bawean, dan saya menyadari bahwa pengetahuan lokal mereka adalah warisan berharga yang harus dijaga,” ungkapnya.

Tak berhenti di sana, ia juga melakukan wawancara dengan metode snowball, berpindah dari satu narasumber ke narasumber lain, untuk menelusuri apakah tradisi penggunaan tanaman obat masih dipertahankan, atau mulai digeser oleh pengobatan medis modern.

Pengalaman semakin berwarna ketika Arlina turut serta dalam pengambilan sampel tumbuhan di lapangan. Dari berbagai temuan, satu di antaranya mencatat sejarah sebagai kanditat jenis baru.

“Dapat tergabung dalam tim Bioprospeksi dan menemukan kandidat spesies baru merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya. Rasanya seperti ikut menuliskan satu huruf kecil dalam buku besar biodiversitas Indonesia,” ujarnya.

Selain itu, matanya juga terbuka pada keragaman flora lain, anggrek lilin yang halus, pasak bumi yang kokoh, pohon pao yang berwibawa, hingga Prunus javanica yang tumbuh gagah di lereng hutan. Semua itu bukan hanya menambah pengetahuannya, melainkan juga menumbuhkan rasa kagum akan betapa kaya dan uniknya flora Nusantara.

Hening Kastoba dan Elang: Simfoni Alam Bawean
Tak hanya flora, Bawean juga memberi hadiah pengalaman yang membekas di sanubari. Dari ketinggian, Arlina memandang Danau Kastoba, permukaan airnya berkilau, tenang, seakan menjadi cermin langit. Pemandangan itu menenangkan, menghadirkan rasa syukur yang sulit dilukiskan kata.

Saat tengah larut dalam kekaguman, seekor elang melintas di atas kepalanya, mengepakkan sayap lebar dengan anggun. Dalam sekejap, ia merasakan betapa agungnya satwa liar yang hidup di habitat aslinya, bebas dan merdeka.

“Rasa lelah saya selama minggu pertama magang seakan terbayar lunas dengan momen-momen itu. Sungguh luar biasa,” tuturnya.

Konservasi yang Menyentuh Kehidupan
Sepekan terasa singkat, namun bagi Arlina, ia telah mendapatkan ilmu, keterampilan, dan kesadaran baru. Bahwa konservasi bukan hanya melindungi satwa dan tumbuhan, tetapi juga menjaga kearifan lokal masyarakat, memastikan keberlanjutan pengetahuan, dan merawat harmoni antara manusia dan alam.

“Saya semakin menyadari bahwa kekayaan hayati dan kearifan lokal adalah dua hal yang saling menopang. Keduanya tak boleh dipisahkan, karena di sanalah letak kekuatan konservasi yang sebenarnya,” pungkasnya.

Sepekan di Bawean mengajarkan Arlina bahwa konservasi adalah pertemuan antara ilmu dan tradisi, antara langkah di hutan dan suara masyarakat, antara pengetahuan baru dan kearifan lama. Dalam singkatnya waktu, ia menemukan bahwa menjaga hutan berarti juga menjaga kehidupan, bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk masa depan.

Fajar Dwi Nur Aji – Pengendali Ekosistem Hutan Muda Balai Besar KSDA Jawa Timur

Tags:

You Might also Like