Type to search

Berita

Jejak Merak Hijau yang Menjaga Napas Budaya Reyog Ponorogo

Share

Di auditorium lantai empat Gedung Rektorat Universitas Muhammadiyah Ponorogo, denyut masa lalu dan masa depan budaya Reyog kembali dipertemukan. Diskusi Terpumpun Penguatan Hasil Kajian Analisis Ekosistem Reyog Ponorogo, yang digelar pada 4 Desember 2025, membuka ruang dialog antara alam, budaya, dan sains, sebuah percakapan panjang yang kerap terabaikan dalam bingkai pelestarian budaya.

Acara yang dibuka oleh Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI ini menghadirkan lintas institusi mulai Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, Balai Besar KSDA Jawa Timur, para akademisi Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Yayasan Reyog Ponorogo, hingga para pelaku seni dan penggerak sanggar. Tiga puluh peserta duduk dalam satu forum yang sama, mengurai kembali ekosistem budaya yang menghidupi Reyog hingga kini.

Dalam dua sesi pemaparan yang komprehensif, Tim Peneliti Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI menyajikan kajian analisis mengenai Ekosistem Reyog Ponorogo dan transformasi budaya dari masa ke masa. Narasi ilmiah itu kemudian diperkaya tanggapan dari Rektor Universitas Muhammadiyah Ponorogo serta Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ponorogo, yang menekankan pentingnya literasi budaya dan kontinuitas dokumentasi.

Diskusi berkembang hangat. Para peserta menyadari, pelestarian Reyog bukan sekadar menjaga pertunjukan, melainkan memahami akar filosofinya. Ada kebutuhan untuk menelusuri kembali memori kolektif masyarakat Ponorogo, mulai dari fase awal hingga fase modern serta menggali ulang nilai-nilai ekologis dan kearifan lokal yang menyertainya.

Pada kesempatan itu, Balai Besar KSDA Jawa Timur melalui perwakilan Resort Konservasi Wilayah 06 Ponorogo mengingatkan kembali satu simpul penting dalam jantung budaya Reyog, tentang kehadiran Merak Hijau (Pavo muticus). Satwa ini bukan hanya ikon visual dalam gemerlap dadak merak, tetapi sebuah simbol ekologis yang mengikat hubungan antara manusia, alam, dan budaya.

Sebagai satwa liar yang dilindungi, Merak Hijau berada di persimpangan dua dunia, dunia seni yang meminjam keindahan bulunya sebagai representasi estetika, dan dunia konservasi yang berjuang mempertahankan populasinya di alam. Di sinilah KSDA Jatim menegaskan komitmennya untuk melestarikan satwa bukan hanya menyelamatkan spesies, tetapi juga menjaga napas budaya yang telah hidup ratusan tahun.

Dalam forum itu pula disampaikan semangat keselarasan antara konservasi dan kebudayaan “Membudayakan Konservasi dan Mengkonservasi budaya”. Sebuah prinsip yang tidak hanya relevan, tetapi mendesak untuk diwujudkan, terutama ketika dunia modern menuntut kecepatan sementara alam dan budaya membutuhkan keberlanjutan.

Namun esensi pertemuan tersebut jauh melampaui foto dan notulensi, ia adalah pengingat bahwa pelestarian budaya tidak dapat dipisahkan dari pelestarian ekosistem yang menopangnya. (dna)

Sumber : Bidang KSDA Wilayah 1 Madiun – Balai Besar KSDA Jawa Timur

Tags:

You Might also Like