Type to search

Berita

Jejak di Rimba Bawean: Warga Berjaga, Hutan Masih Terancam

Share

Suara dedaunan yang digeser kaki terasa nyaring di keheningan hutan. Di tengah rimbun Gunung Besar, Pulau Bawean, sekelompok warga menyusuri jalur berbatu sambil menatap layar peta. Mereka bukan pelancong. Bukan pula aparat bersenjata lengkap. Mereka adalah Masyarakat Mitra Polhut (MMP) Bawean Lestari, relawan penjaga hutan yang melangkah pelan tapi pasti, di bawah panji konservasi.

Selama sepekan, 24–31 Mei 2025, tim patroli gabungan Seksi KSDA Wilayah III Surabaya dan MMP Bawean Lestari menjalankan patroli sistematis menggunakan pendekatan SMART (Spatial Monitoring and Reporting Tool). Jalur-jalur lama ditapaki kembali, jalur baru dibuka mengikuti peta grid dan analisis kerawanan. Targetnya, memantau biodiversitas, mencatat gangguan kawasan, dan memperkuat batas konservasi.

Temuan mereka mencemaskan. Jejak Babi Kutil dan Rusa Bawean terdata. Elang ular Bawean, Kukuk Beluk, dan Madu Kelapa sempat melintas di langit atau di semak. Tapi di sisi lain, sebuah batang kayu jati ditemukan ditebang. Dua tunggak sisa penebangan lainnya menambah daftar. Air dipakai tanpa prosedur, patok batas dipindah, bahkan tambang tak berizin terdeteksi menempel di tepi kawasan.

“Kami temukan beberapa pal batas dipindahkan jauh dari posisi asli,” ungkap Abdul Rahem.

Tak ada pelaku yang tertangkap tangan, tapi jejak dan lokasi kejadian dicatat lengkap, GPS, foto, dan laporan kejadian disusun sesuai standar SMART Patrol. Meski perambahan dan pelanggaran tak terlalu masif, laporan itu menunjukkan betapa kawasan konservasi di pulau ini masih rapuh.

Di tengah keterbatasan personel dan sulitnya topografi, keterlibatan masyarakat menjadi penyangga terakhir yang memungkinkan konservasi tetap berjalan. MMP Bawean Lestari adalah wajah dari pendekatan konservasi yang partisipatif, tapi juga rentan. Mereka belum berlindung dalam struktur formal, hanya mengandalkan semangat dan sedikit pelatihan teknis. Namun dari tangan mereka, data satwa, tumbuhan, dan gangguan dikumpulkan secara rutin dan akurat. Bahkan laporan dari warga sering kali lebih cepat daripada laporan diatas kertas.

Peran MMP “Bawean Lestari” bukan sebatas pendampingan. Mereka turut menentukan jalur patroli, mengenali spesies lokal, dan mencatat data secara langsung. Pengetahuan lokal masyarakat berpadu dengan pendekatan ilmiah petugas lapangan, suatu bentuk kolaborasi yang semakin dibutuhkan dalam konservasi berbasis masyarakat. Tak hanya soal ekologi, patroli juga diselingi koordinasi dengan desa penyangga untuk memastikan bahwa hubungan harmonis antara warga dan alam tetap terjaga.

Di bawah naungan hutan primer dan semak belukar yang disusupi anggrek liar, Anggrek Bulan, Vanda, Pholidota, konservasi berjalan bukan hanya karena anggaran, melainkan karena hubungan. Antara hutan dan manusia. Antara negara dan rakyat. Antara aparat dan warga yang memilih ikut menjaga.

“Konservasi bukan sekadar tugas negara. Ia hidup ketika masyarakat menjadikannya bagian dari budaya.”

begitu pesan tak tertulis dari hasil patroli itu. Hutan Bawean mungkin masih utuh. Tapi untuk tetap lestari, ia perlu lebih dari sekadar laporan, ia perlu keberpihakan. Kolaborasi tumbuh ketika hutan tidak lagi dipandang sebagai beban negara, tapi sebagai rumah bersama. (dna)

Sumber: Bidang KSDA Wilayah 2 Gresik – Balai Besar KSDA Jawa Timur

Tags:

You Might also Like