Ingat! Trenggiling Itu Bukan Satwa Buruan
Share
Trenggiling, satwa yang dikenal dengan sisik keras di sekujur tubuhnya. Di Indonesia, ia menjelajahi hutan primer maupun sekunder Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Bukan hanya di Nusantara, trenggiling juga tersebar di Asia dan Afrika. Empat jenis yang hidup di Asia adalah Manis crassicaudata (Bangladesh, India, Pakistan, dan Sri Lanka), Manis culionensis (Filipina), Manis javanica (Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam), serta Manis pentadactyla (Bhutan, China, Nepal, dan Taiwan).
Di Afrika pun hidup empat jenis trenggiling. Ada Manis tricuspis (Angola, Benin, Kamerun, Afrika Tengah, dan Kongo), Manis gigantea (Rwanda), Manis temminckii (Ethiopia, Kenya, Malawi, Mozambiq, Namibia, dan Afrika Selatan), juga Manis tetradactyla (Kongo, Gabon, Ghana, Liberia, dan Nigeria).
Meski tampangnya sedikit “seram” nyatanya trenggiling merupakan satwa pemalu. Ini ditunjukkan ketika ia menggulung tubuhnya, melingkar bak bola, yang dilakukan untuk menghindari ancaman. Sisiknya yang menjadi perisai alias tameng diri berfungsi juga sebagai senjata bila dikibaskan ke predator atau makhluk lain yang mengganggunya.
Keunggulan lain Manis javanica ini adalah ukuran lidahnya yang melebihi panjang badannya. Lidah yang dijulurkan untuk mencari semut hingga ke liangnya. Secara morfologi, tubuhnya memanjang, dari kepala sampai pangkal ekor sekitar 58 cm dan panjang ekornya kira-kira 45 cm. Berat rata-rata sekitar 27 kilogram.
Fakta unik lain trenggiling adalah sekitar 20 persen dari berat tubuhnya merupakan sisik. Selain itu, trenggiling tidak memiliki gigi. Ia mengunyah mangsanya dengan kerikil dan duri keratin yang terletak di dalam perutnya.
Di Indonesia, trenggiling dilindungi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Juga, Appendix 1 CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang artinya mendapat perlindungan penuh dari segala bentuk perdagangan.
Diburu
Meski dilindungi dan statusnya Kritis (Critically Endangered) berdasarkan IUCN (International Union for Conservation of Nature), perburuan trenggiling kerap terjadi. Berdasarkan catatan Mongabay Indonesia dan berbagai sumber yang dikumpulkan, pada Agustus 2016, sebanyak 657 ekor trenggiling dalam kondisi beku yang disimpan dalam lima unit freezer, diamankan Polda Jawa Timur, dari rumah seorang warga di Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dua bulan berselang, Oktober 2016, sebanyak 15 ekor trenggiling mati diamankan juga dari warga Desa Belikai, Kecamatan Seberuang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Sebelumnya, kasus penyelundupan juga terjadi di 2015 yaitu penyelundupan 445 trenggiling melalui bandara Juanda, Surabaya,tujuan Singapura. Pada 2013, sebanyak 29 trenggiling diamankan di Ketapang, Kalimantan Barat.
Bila mengacu data Wildlife Crime Unit, di Indonesia, pada 2016 sebanyak 1.584 ekor trenggiling disita beserta 282 kilogram sisiknya. Sedangkan di 2015, sebanyak 1.524 ekor trenggiling diamankan beserta 77 kilogram sisiknya. Ini merupakan kejadian dua tahun terakhir saja.
Terhadap kejahatan satwa dilindungi ini, Irma Hermawati, Legal Advisor Wildlife Crime Unit (WCU), sebelumnya telah menjelaskan, maraknya perburuan trenggiling di alam, masih berkutat pada mitos di kalangan masyarakat kita dan masyarakat di negeri tertentu bila memakan daging atau organ mamalia ini bakal menambah kebugaran tubuh. Ada yang dibuat sup, dimakan, untuk bahan kosmetik, juga keberuntungan. “Sisik yang dijual terpisah harganya US 5 Dollar per keping, atau US 600 Dollar untuk seekor trenggiling.”
Negara tujuan penyelundupan adalah Singapura, Vietnam, Thailand, Taiwan, dan Tiongkok. Modus yang digunakan pelaku, sebagaimana yang terjadi di Bandara Juanda, Surabaya, pada 2015, adalah menuliskan dokumen ekspor sebagai ikan segar. Paket dilapisi ikan segar sebagai kamuflase semata. Berdasarkan penyidikan petugas, nilai jual daging trenggiling seberat 1,3 ton itu mencapai angka 3,4 miliar Rupiah. Atau, sekitar 2,5 juta Rupiah per kilogram.
Mengenai daging atau bagian tubuh trenggiling yang dijadikan bahan racikan obat tradisional atau traditional chinese medicine (TCM), Prof. Gono Semiadi, ahli mamalia dan Wildlife Management Zoologi-LIPI, telah angkat bicara. Berdasarkan penelitian dan kajian yang telah dilakukan LIPI, dalam daging dan organ tubuh trenggiling sesungguhnya tidak ditemukan kandungan atau khasiat yang bersifat obat untuk menyembuhkan penyakit.
“Secara farmakologi, tidak ada khasiat obat. Tapi, dalam dunia pengobatan, kadang bukan senyawanya saja yang harus mempunyai nilai kesehatan, tetapi nilai sugestinya yang diutamakan. Ini yang terjadi.”
Bagaimana dengan informasi sisik trenggiling sebagai bahan racikan narkoba? Gono menuturkan, tidak ada nilai farmakologi dari sisik trenggiling tersebut. “Sisik trenggiling terdiri dari keratin, hampir sama dengan jaringan kuku manusia. Banyaknya perburuan, dikarenakan bayarannya yang mahal dan tingginya permintaan.”
Perburuan trenggiling yang tinggi, yang terus berlangsung hingga saat ini, sejatinya mengganggu tatanan keseimbangan ekosistem alam. Berkurangnya trenggiling di alam liar, dipastikan akan membuat populasi semut atau rayap menjadi tidak terkendali, karena serangga sosial ini tidak ada predatornya lagi. Apa yang harus kita lakukan?
Sumber : mongabay.co.id