Harmoni Budaya dan Alam di Kaki Ijen
Share
Keindahan bentang alam Ijen telah berkibar di pentas dunia. Banyak pelancong manca mendaki gunung ini untuk menikmati panoramanya.
Dua ekor ayam hutan betina melesat terbang menyelinap dalam sesemakan. Dari kejauhan, lengkingan si jantan menggema. Suaranya membelah Taman Wisata Alam Kawah Ijen.
Wujud gagah tiang bumi yang menjulang 2.368 meter dpl itu tak terlihat dari Paltuding, perbatasan Bondowoso – Banyuwangi, Jawa Timur. Paltuding memberi keleluasaan buat menikmati bentang alam Ijen beserta sejumlah gunung yang berjejer: Merapi, Ijen dan Widodaren. Di seberang tiga gunung itu, tegak Gunung Meranti.
Keindahan bentang alam Ijen telah berkibar di pentas dunia. Banyak pelancong manca mendaki gunung ini untuk menikmati panoramanya. Biasanya berangkat pukul dua dini hari, agar bisa menikmati matahari terbit dan aktivitas penambang.
Kobaran api biru atau blue fire telah memikat para wisatawan Malaysia dan Singapura mendaki Gunung Ijen. Api biru berasal dari pipa yang menyalurkan gas belerang dari dapur magma.
Api biru tidak terlihat pada siang hari, tapi nampak pada malam hari. Lantaran itu pula pengunjung kerap mendaki pada dini hari agar sempat menyaksikan lambaian bara biru. Di masa lalu, api biru masih kecil, sekarang berkobar lebih besar. Di seputar danau tak kurang ada 99 pipa yang menyemburkan api biru.
Sayangnya, saya harus menunda keinginan menikmati wujud nyata keindahan Ijen pada suatu siang bulan Maret lalu. Setahun setengah Ijen berada dalam status Siaga III. Status Siaga ditetapkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi setelah mengamati gelagat Ijen yang menggeliat.
Semenjak Maret 2012, Pusat Vulkanologi mencatat meningkatnya jumlah gempa vulkanik dangkal dan gempa tremor. Secara visual, suhu, pH dan kandungan kimia air kawah menunjukkan adanya suplai fluida atau gas magmatik.
Daya tarik Ijen tak lain dan tak bukan adalah air danau hijau tosca dan aktivitas para penambang belerang. Status Siaga membuat Ijen terlarang didaki. Radius paling aman sekitar 1,5 kilometer dari danau. Itu berarti hanya sampai di atas tebing kawah, tidak boleh turun sampai danau.
Kendati gagal mendaki Ijen, sepanjang jalan menuju kawasan konservasi kawah Ijen tersaji berbagai keindahan alam pegunungan. Hamparan kebun cengkeh membentang sebelum mencapai Paltuding. Pakis hutan berderet di sepanjang jalan. Jika beruntung, bisa bersua dengan macan kumbang saat menjelang senja.
Menyusuri jalan menuju Ijen, tak jauh dari pusat kota Banyuwangi, kehidupan masyarakat Using memberikan khazanah budaya Blambangan. Syahdan, suku Using bermula semenjak masa akhir Majapahit sekitar 1478. Seiring runtuhnya Majapahit, banyak penduduk eksodus ke beberapa tempat: Gunung Bromo-Tengger, Bali, dan Blambangan.
“Using artinya tidak,” papar Agus Supriyanto, “tidak berarti menolak Mataram dab Belanda.” Penolakan terhadap hegemoni Mataram dan Belanda di masa lalu telah membentuk suku Using atau orang Blambangan.
Kisah heroik perlawanan terhadap Belanda terjadi saat Puputan Bayu. “Puputan ini perang besar-besaran, penghabisan,” jelas Agus, “ini sejenis genosida. Tua-muda, laki-laki-perempuan suku Using dihabisi Belanda.”
Pria yang bekerja di Desa Wisata Using Kemiren, Kecamatan Glagah, ini menuturkan bahasa suku Using juga terbilang unik, berbeda dengan bahasa Jawa. Agus mencontohkan: “’Apa ini’ diterjemahkan menjadi ‘paran iki’. Huruf terakhir ‘i’ diucapkan ‘ai’. Jadi, ucapannya: ‘paran ikai’.”
Pengucapan berbeda jika kata ‘iki’ berada di depan. “’Iki paran’ tetap diucapkan ‘iki paran’.” Ada penekanan khusus pada kata-kata yang berawal konsonan |B|, |D|, |G| dengan diberikan sisipan |Y|. “Contohnya, Banyuwangi diucapkan Byanyuwangai,” tuturnya.
Tradisi dan budaya Using masih terjaga hingga kini. Selain tari Grandrung yang telah lama tenar, ada juga tari Seblang. Ada dua tari Seblang: Seblang Olehsari dan Seblang Bakungan. Tari Seblang Olehsari dipentaskan oleh perempuan yang masih perawan. “Meski mengaku gadis, tapi ternyata tidak pasti ketahuan,” Agus menguraikan. Tarian Seblang Olehsari dipentaskan selama tujuh hari berturut-turut dalam buaian kesurupan diiringi 28 tembang.
Sementara itu, Seblang Bakungan ditarikan perempuan yang telah menopause. Agus menyatakan bahwa Seblang berarti sebele ilang atau musnahlah semua bala, yang digelar dalam perayaan bersih desa.
Upacara rutin bersih desa atau idher bumi di Kemiren digelar pada hari kedua lebaran Idul Fitri. “Saat idher bumi berlangsung arak-arakan barong Kemiren,” ucap Agus. Barong Kemiren diperagakan dua orang: satu di depan dan satu di belakang. Barong Kemiren, papar Agus, merupakan metamorfosis kupu-kupu menjadi naga.
Syahdan, kesenian barong mengisahkan ikhtiar warga dalam membuka belantara untuk lahan pertanian. Saat membuka lahan baru itu, dipercaya penduduk menghadapi gangguan makhluk halus. Lantaran itulah, dalam pementasan selalu disisipkan pesan melestarikan hutan. (Agus Prijono)
Sumber : http://nationalgeographic.co.id