Catatan Magang Mahasiswa di BBKSDA Jawa Timur
Share
Konservasi tidak selalu lahir dari ruang rapat atau lembar kebijakan. Ia kerap tumbuh perlahan, dari langkah kaki di jalur hutan, dari catatan lapangan yang berulang, dan dari dialog panjang dengan masyarakat yang hidup berdampingan dengan kawasan konservasi.
Pengalaman inilah yang dijalani oleh Arlina Widhiastuti, Shalmiah Aegesti, dan Tiara Nathania, mahasiswa Sarjana Terapan Pengelolaan Hutan, Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, selama mengikuti program magang kerja di Balai Besar KSDA Jawa Timur.
Program magang yang berlangsung sejak 8 September hingga presentasi akhir di 18 Desember 2025 ini menempatkan mahasiswa langsung di garis depan pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya di Pulau Bawean. Sebuah pulau kecil dengan ekosistem terisolasi yang menjadi habitat satwa endemik dan menyimpan tantangan konservasi yang kompleks.
Puncak dari proses pembelajaran tersebut dipresentasikan secara terbuka dalam Presentasi Hasil Magang Kerja Mahasiswa UGM yang dilaksanakan pada Kamis, 18 Desember 2025, bertempat di Kantor Seksi KSDA Wilayah III Surabaya dan diselenggarakan secara hybrid. Kegiatan ini dihadiri oleh para pejabat struktural dan fungsional lingkup Balai Besar KSDA Jawa Timur, menjadi ruang dialog antara pengalaman lapangan mahasiswa dan perspektif pengelolaan konservasi institusional.
Dalam forum ini, ketiga mahasiswa memaparkan keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan teknis konservasi, mulai dari SMART Patrol, monitoring dan evaluasi izin pemanfaatan air, bioprospeksi tumbuhan hutan, inventarisasi pengetahuan lokal, herping, preservasi spesimen, hingga pengecekan camera trap. Paparan tersebut memperlihatkan bahwa magang tidak sekadar aktivitas pendampingan, melainkan proses pembelajaran berbasis praktik nyata dan data lapangan.
Pulau Bawean sebagai Ruang Belajar Hidup
Bagi Arlina Widhiastuti, mahasiswi asal Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Pulau Bawean bukan hanya lokasi magang, melainkan ruang belajar yang hidup. Keterlibatannya dalam kegiatan bioprospeksi menjadi pengalaman paling membekas, ketika tim menemukan indikasi jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai kandidat spesies baru. Pengalaman ini menyadarkannya bahwa hutan masih menyimpan banyak pengetahuan yang belum sepenuhnya terungkap, dan bahwa konservasi juga berarti menjaga peluang ilmu pengetahuan di masa depan.
Melalui penelitiannya tentang pengetahuan lokal masyarakat desa penyangga Suaka Margasatwa Pulau Bawean terhadap Rusa Bawean (Axis kuhlii), Arlina memahami bahwa menjaga alam bukan semata soal aturan dan sains, tetapi juga tentang rasa memiliki, kearifan lokal, serta hubungan hormat antara manusia dan alam. Baginya, Bawean mengajarkan bahwa konservasi tidak lahir dari teori, melainkan dari tanah yang dipijak dan alam yang dihormati.
Konservasi dan Manusia yang Hidup Berdampingan
Sementara itu, Tiara Nathania, mahasiswi semester tujuh asal Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, memilih Pulau Bawean sebagai lokasi magang dan penelitian karena keunikan ekosistemnya yang masih relatif terisolasi, namun kaya keanekaragaman hayati. Di pulau ini, Tiara tidak hanya melakukan penelitian akademik, tetapi juga berinteraksi langsung dengan alam dan masyarakat.
Dari pengalamannya, Tiara menyimpulkan bahwa konservasi tidak berhenti pada perlindungan hutan dan satwa, tetapi juga menyangkut manusia yang hidup berdampingan dengannya. Bawean mengajarkannya tentang kesederhanaan, ketekunan, serta tanggung jawab bersama terhadap alam. Pengalaman ini mempertegas langkahnya sebagai mahasiswa kehutanan untuk terus belajar, bertumbuh, dan berkontribusi dalam upaya pelestarian sumber daya alam hayati.
Belajar dari Dedikasi di Lapangan
Berbeda latar belakang geografis, namun satu pengalaman lapangan, Shalmiah Aegesti, mahasiswa asal Pekanbaru, Riau, menjalani magang di beberapa lokasi kerja BBKSDA Jawa Timur, termasuk Pulau Bawean. Selama magang, ia terlibat dalam pemantauan kawasan, pengumpulan data, SMART Patrol, serta bioprospeksi.
Bagi Shalmiah, magang ini menjadi berkesan karena ia berkesempatan berjalan bersama para petugas konservasi yang bekerja dengan dedikasi tinggi. Pengalaman tersebut memperkaya cara pandangnya sebagai mahasiswa Pengelolaan Hutan, bahwa konservasi adalah kerja kolektif yang dijalankan dengan ketekunan, sering kali tanpa sorotan, namun memiliki dampak jangka panjang bagi keberlanjutan kawasan.
Selain memaparkan hasil kegiatan lapangan, mahasiswa juga menyampaikan kajian sosial–ekologis Rusa Bawean, mencakup tingkat pengetahuan lokal, kesadaran masyarakat, serta bentuk partisipasi masyarakat desa penyangga dalam konservasi. Dari kajian tersebut, muncul sejumlah rekomendasi strategis, antara lain pentingnya merangkul berbagai kelompok masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, pemuda, perempuan, hingga kelompok usia lanjut, dalam upaya edukasi dan sosialisasi konservasi.
Pendekatan konservasi yang disarankan tidak lagi bersifat tunggal, melainkan komprehensif dan lintas generasi, dengan memadukan edukasi berbasis budaya, kearifan lokal, serta media komunikasi yang adaptif dan mudah dipahami masyarakat. Konservasi, dalam pandangan ini, tidak hanya struktural dan pengamanan kawasan, tetapi juga sosial, partisipatif, dan berkelanjutan.
Bagi Balai Besar KSDA Jawa Timur, kegiatan magang dan presentasi ini menjadi lebih dari sekadar evaluasi akademik mahasiswa. Ia menjadi ruang refleksi bersama, bahwa penguatan konservasi ke depan membutuhkan generasi muda yang tidak hanya memahami konsep, tetapi juga memiliki pengalaman, empati, dan komitmen.
Dari Pulau Bawean, dari jalur patroli dan ruang diskusi, ketiga mahasiswa ini belajar bahwa konservasi adalah perjalanan panjang. Sebuah kerja yang menuntut ilmu, ketulusan, dan keberanian untuk terlibat. Dan dari pengalaman di garis depan inilah, harapan keberlanjutan keanekaragaman hayati Jawa Timur perlahan dititipkan.
Penulis: Fajar Dwi Nur Aji – PEH Ahli Muda BBKSDA Jatim
Editor: Agus Irwanto
Sumber: Balai Besar KSDA Jawa Timur

