Burung-Burung dalam Titik Balik, Narasi dari Langit Jawa Timur
Share

Dalam pembaruan Daftar Merah IUCN 2025, sejumlah spesies burung di wilayah kerja BBKSDA Jatim mengalami perubahan status keterancaman. Beberapa menunjukkan sinyal positif, namun tak sedikit yang justru menyuarakan peringatan keras tentang krisis habitat dan perubahan iklim.
Di tengah upaya kolektif konservasi, dua kabar baik tiba dari lahan basah, Ibis Cucuk-Besi (Threskiornis melanocephalus) dan Pecuk-Ular Asia (Anhinga melanogaster) kini menyandang status Least Concern (LC) atau Risiko Rendah setelah hampir dua dekade berada di ambang keterancaman. Penurunan status ini bukan sekadar revisi administratif. Ini adalah hasil nyata dari perbaikan ekosistem lahan basah, regulasi perburuan, serta meningkatnya literasi ekologis masyarakat pesisir dan pedalaman.
Namun, keberhasilan ini hanya secercah cahaya dalam lanskap yang makin gelap. Pelatuk jawa (Chrysocolaptes strictus) sang pengetuk sunyi hutan tropis, kini tidak lagi masuk kategori Rentan, tapi Hampir Terancam. Artinya, meski belum memasuki krisis, habitatnya hutan primer Jawa yang kian langka membuatnya dalam status berjaga.
Ia kini menjadi simbol dari bentang alam yang menyusut, digerogoti oleh deforestasi. Berbeda degan Sempur-Hujan Jawa (Eurylaimus javanicus) yang sebelumnya berstatus Hampir Near Threatened (NT) atau Terancam menjadi Risiko Rendah.
Lebih dramatis lagi adalah perubahan yang menyelimuti burung-burung migran yang mampir hanya sekejap di tanah Jawa Timur. Cerek besar (Pluvialis squatarola), Trinil Pembalik-Batu (Arenaria interpres), Kedidi Paruh-Lebar (Calidris falcinellus), Kedidi Golgol (Calidris ferruginea), dan Kedidi Belang atau Dunlin Calidris alpina.
Semuanya mengalami kenaikan status keterancaman. Dari Risiko Rendah menjadi Rentan atau Hampir Terancam. Kecuali Trinil Ekor-Kelabu (Tringa brevipes) yang statusnya turun, dari Hampir Terancam menjadi Risiko Rendah.
Mereka adalah tamu tahunan yang datang dari kutub utara, menepi di muara, tambak, sawah, dan dataran lumpur kita untuk mengisi tenaga. Namun kini, tak sedikit tempat singgah mereka berubah fungsi, menjadi perumahan, kawasan industri, reklamasi, ataupun perubahan lainnya.
Di sisi lain, kabar mengejutkan datang dari Pulau Kangean, wilayah ujung timur laut Jawa Timur. Ciung-Air Kangean (Mixornis prillwitzi), satu-satunya spesies endemik pulau ini, justru mengalami penurunan status keterancaman dari Rentan menjadi Risiko Rendah. Walau terlihat menggembirakan, para ahli memperingatkan bahwa perubahan ini lebih didorong oleh penilaian data baru, bukan karena kondisi habitatnya benar-benar aman. Dengan kata lain, kita mungkin belum tahu ancaman sebenarnya.
“Status burung bukan hanya soal jumlah spesies yang terbang. Ia adalah indikator dari bumi yang sehat atau sakit. Ketika mereka menghilang, kita kehilangan lebih dari sekadar suara di hutan, kita kehilangan alarm terakhir,” ujar Ahmad David Kurnia Putra, Polhut Ahli Pertama Balai Besar KSDA Jawa Timur yang kesehariannya menekuni per”burungan” di wilayah kerjanya.
Perubahan status keterancaman pada 2025 ini menjadi bagian dari evaluasi global oleh IUCN dan BirdLife International. Seluruh penilaian didasarkan pada data pemantauan jangka panjang, kajian lapangan, dan konfirmasi habitat.
Fakta bahwa burung-burung migran mendominasi daftar peningkatan keterancaman memperkuat satu hal. Perubahan iklim dan kerusakan lahan basah kini menjadi ancaman paling nyata dan mendesak bagi keanekaragaman hayati
Wilayah kerja BBKSDA Jatim memiliki posisi strategis di jalur migrasi East Asian–Australasian Flyway, dan statusnya sebagai bentang penting bagi burung pantai menempatkan tanggung jawab besar di pundak kita. Bukan hanya bagi konservasi lokal, tapi juga kelestarian global.
Kini, bola salju sudah menggelinding. Apakah kita akan membiarkannya menabrak dan menghancurkan semua yang tersisa, atau memilih untuk bertindak?
Perlindungan habitat alami, edukasi publik, penguatan regulasi perdagangan satwa liar, hingga konservasi lahan basah perlu digerakkan bersama. Karena ketika seekor burung kembali terbang bebas ke langit Timur Jawa, kita sedang menyelamatkan lebih dari sekedar spesies, kita menyelamatkan ekosistem. Kita menyelamatkan diri sendiri.
Sumber: Fajar Dwi Nur Aji dan Akhmad David Kurnia Putra, Balai Besar KSDA Jawa Timur