Buang Hajat Di Gunung, Antara Kebutuhan Dan Ramah Lingkungan
Share
Saat mengikuti Jelajah Konservasi di Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Yang beberapa waktu yang lalu, satu hal yang mengusik pikiran saya bagaimana kalau pingin pipis? Pingin pup? Tapi, ah sudahlah, cuek saja. Ngumpet di balik semak, di balik pohon atau di balik batu, kan beres.
Bagi saya yang seorang wanita, buang hajat di tempat terbuka cukup membuat risih. Meski sebenarnya telah ada peralatan untuk mengatasi hal itu, namun harganya cukup menguras isi kantong. Umumnya sih menggunakan tisu basah, tapi penggunaan tisu jenis ini akan menambah sampah yang sulit terurai. Kok banyak tapinya ya.
Harapannya sih ada toilet yang layak di jalur pendakian. Ya … tak perlu sebersih yang di mal, namun cukup bersih, nyaman dan tidak merusak lingkungan.
Menghadapi tuntutan seperti ini, saya yakin pengelola kawasan harus berpikir keras untuk menyediakan layanan yang baik, sekaligus berpihak pada lingkungan. Kesulitan utamanya ketersediaan air. Toilet mungkin bisa dibangun tapi kalau tidak ada air, ya percuma saja. Justru berakibat akan ada penumpukan kotoran dan sampah tisu. Dan, siapa yang akan menjaga kebersihannya, mengingat lokasinya di gunung.
Sepertinya, perlu diklasifikasikan dulu untuk lokasi yang ketersediaan airnya cukup, bisa dibangun toilet lengkap dengan jaringan air bersih dan pengelolaan limbahnya. Tetapi untuk lokasi yang tidak ada sumber air, mungkin perlu disediakan juga toilet kering alias jumbleng. Wah.. kalau ada jumbleng, saya yakin pengelola bakal semakin repot menjaga kebersihannya.
Bagaimana jika disediakan alat untuk membuat lubang galian sebagai tempat membuang hajat dan tisu ? Alat yang kecil semacam sekop kecil atau cetok. Lha .. bisa-bisa belum seminggu sudah hilang alatnya. Dan saya yakin petugas pengelola akan kesulitan untuk menyimpan peralatan semacam ini di gunung.
Tapi, jika dibanding dengan harga membangun sebuah toilet di gunung, tentu pengadaan sekop buat buang hajat ini jauh lebih murah. Kalaupun harus ganti setiap hari, bisa pengadaan alat ini untuk belasan tahun.
ATAU, setiap pendaki membawa peralatan semacam sekop kecil, cetok atau parang kecil untuk menggali tempat buang hajat, dan menutupnya kembali. Meski merekapun bisa memanfaatkan kayu atau ranting. Namun, perlu edukasi secara masif mengenai “permasalahan buang hajat” di gunung ini. Bisa juga pengelola membuat leaflet, booklet, atau bahkan video tutorial seperti safety instruction-nya penerbangan.
Jadi, bagi orang seperti saya bisa buang hajat yang nyaman dan aman di gunung.
Penulis : Th. Patty Novianti, Kasubag Perencanaan Program dan Kerjasama
Penyunting : Agus Irwanto