Lembaga World Wildlife Foundation (WWF) mengapresiasi hasil Konvensi Internasional Perdagangan Spesies Terancam Punah (CITES) di Afrika Selatan Oktober 2016 yang mengetatkan pengawasan perdagangan ikan hiu dan pari guna menghindari eksploitasi berlebih.
Koordinator Konservasi Hiu WWF Indonesia, Dwi Ariyoga Gautama, dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat (7/10), menyatakan bahwa hasil pertemuan ke-17 Cites di Afsel itu menyepakati untuk memasukkan jenis Hiu Kejen (Silky Sharks/Carcharhinus falciformis), Hiu Tikus (Thresher sharks/Alopias spp) dan Pari Mobula (Devil rays/Mobula spp) pada Daftar Appendix II.
“Hiu dan pari banyak diburu di Indonesia, dengan masuknya jenis hiu dan pari tersebut pada Daftar Appendix II CITES, negara anggota setuju untuk memberikan perlindungan dan pengawasan ketat terhadap perdagangannya,” kata Dwi Ariyoga.
WWF-Indonesia, ujar dia, menilai bahwa kesepakatan tersebut merupakan kemenangan besar dalam upaya pengelolaan pemanfaatan hiu dan pari di seluruh dunia.
Ketiga spesies ini dicantumkan dalam daftar Appendix II setelah diperolehnya suara mayoritas atau sekitar dua pertiga dari negara-negara yang meratifikasi CITES.
Untuk mendukung pengelolaan spesies hiu dan pari, tahun lalu WWF Indonesia bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan dokumen prosiding rumusan Simposium Hiu dan Pari Indonesia.
Di Indonesia, Rencana Aksi Nasional (RAN) Pengelolaan Hiu dan Pari 2016 – 2020 yang mengatur perlindungan serta perdagangan hiu dan pari telah disusun.
Meski dalam catatan KKP, produksi hiu nasional antara tahun 2000 dan 2014 cenderung mengalami penurunan sebesar 28,30 persen, Indonesia dinilai WWF pada 2014 masih menjadi negara produsen hiu terbesar di dunia dengan kontribusi sebesar 16,8 persen dari total tangkapan dunia.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menginginkan berbagai pihak dapat melaksanakan keberpihakan terhadap keberlanjutan dan pelestarian lingkungan hidup khususnya untuk sektor kelautan.
“Kita harus punya keberpihakan terhadap lingkungan,” kata Menteri Susi Pudjiastuti di Jakarta, Rabu (28/9).
Menurut Susi, institusi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) adalah salah satu kementerian yang menginisiasikan kebijakan publik yang mengubah dan membalikkan tatanan yang ada sebelumnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan menyadari bahwa putusan publik yang dibuatnya juga tidak menjamin akan menyenangkan semua orang apalagi bila terkait dengan penegakan hukum.
“Maunya semua orang happy, tetapi tidak mungkin public policy buat semua orang happy,” katanya.
Dia mencontohkan sejumlah peristiwa seperti reklamasi, dimana KKP ingin memastikan setiap reklamasi yang terjadi tidak menabrak aturan, tidak merusak lingkungan, serta tidak merugikan pihak pemangku kepentingan seperti nelayan.
Sumber : antaranews.com