Demikian ditegaskan Dr. Ir. Ayu Dewi Utari M.Si, dalam Sosialisasi Pengelolaan Kawasan Konservasi Cagar Alam Pulau Sempu di Harris Hotel & Conventions Malang, 13 September 2017. Dalam kesempatan tersebut, Ayu juga menyampaikan bahwa Cagar Alam Pulau Sempu (CAPS) hanya boleh digunakan untuk penelitian, dan tidak boleh digunakan sebagai tempat wisata, serta status Pulau Sempu masih cagar alam, belum menjadi suaka margasatwa ataupun taman wisata alam.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh puluhan stakeholder dan pemerhati Pulau Sempu dari berbagai kalangan, mulai pelajar, kelompok pecinta alam, media massa, instansi terkait, NGO, masyarakat nelayan sendang biru, hingga para pelaku wisata.
“Acara ini digelar untuk menjawab kegalauan masyarakat Malang terhadap isu yang luar biasa berkembang belakangan ini, seperti Cagar Alam Pulau Sempu dijual kepada investor seharga 2,5 M, kemudian adalagi CAPS sudah diturunkan statusnya dari kasta tertinggi cagar alam menjadi kasta terendah, taman wisata alam”, imbuh Ayu yang saat ini menjabat sebagai Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur.
Isu tersebut semakin berkembang sejak tim teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) turun ke Pulau Sempu untuk melakukan evaluasi fungsi kawasan konservasi CAPS beberapa waktu yang lalu.
Siti Chadidjah Kaniawati, Kepala Sub Direktorat Pemolaan Kawasan Konservasi, yang juga anggota tim teknis evaluasi fungsi, mengatakan bahwa proses evaluasi fungsi terhadap CAPS tidaklah datang dengan tiba-tiba namun telah diawali dengan evaluasi rutin yang telah dilakukan pihak BBKSDA Jatim, serta workshop tahun 2014. Dimana salah satu hasil dari workshop tersebut adalah mengamanatkan BBKSDA Jatim segera melaksanakan evaluasi kesesuaian fungsi CAPS, yang baru terealisasi tahun 2017.
“Kami Tim Teknis Evaluasi Fungsi bekerja atas dasar Surat Keputusa dari Menteri LHK,” tegas wanita yang akrab dipanggil Dede ini.
Pemulihan Ekosistem atau Perubahan Status
Masih menurut Dede, kegiatan evaluasi fungsi merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, yang dillakuan secara periodik 5 tahun sekali. Tim ini terdiri atas beberapa komponen, yakni pengelola kawasan, instansi pemerintah setempat, unsur kepakaran dari LIPI atau perguruan tinggi setempat, serta unsur masyarakat.
Evaluasi fungsi ini bertujuan memotret kondisi terkini CAPS, baik dari segi fisik, ekologi, dan sosial ekonomi yang ada, serta biasanya dilakukan pada seluruh kawasan atau bisa difokuskan pada area-area yang terganggu oleh berbagai kegiatan.
“Hingga saat ini tim belum sampai pada kesimpulan apapun, karena kegiatan evaluasi masih terus berlangsung”, ujarnya.
Dan jika kegiatan evaluasi fungsi telah selesai dilaksanakan, maka Tim Teknis Evaluasi Fungsi baru memberikan rekomendasi kepada menteri terkait keadaan CAPS. Rekomendasi pertama bisa pemulihan ekosistem, jika dijumpai kerusakan pada cagar alam dan masih bisa diperbaiki. Maka fungsi kawasan akan dipertahankan dan dilakukan rehabilitasi atau perbaikan sehingga fungsi cagar alamnya dapat optimal kembali.
Rekomendasi kedua bisa ke arah perubahan fungsi, hal ini apabila kerusakan terlalu besar dan sulit untuk dipulihkan. Namun ada sesuatu hal yang dapat mengoptimalkan fungsi barunya. Perubahan fungsi ini bisa pada sebagian kecil atau keseluruhan kawasan tergantung kondisi yang ada.
Namun demikian Dede kembali mengingatkan bahwa perubahan fungsi sebuah kawasan membutuhkan proses dan waktu yang lama. ( Agus Irwanto, Staf Seksi Perencanaan, Perlindungan, dan Pengawetan )