PP Lahan Gambut Segera Direvisi

Share

 

Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana merevisi Peraturan Pemerin tah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 tentang kebijakan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Revisi dinilai penting karena kerapnya kasus kebakaran hutan di lahan tersebut.
 
Langkah revisi akan diawali dengan pengumpulan rekomendasi dari sejumlah pakar. “Kami ingin revisi PP dapat diterima semua kalangan, yakni tidak menyulitkan pengusaha sawit dan kebakaran hutan tidak terjadi lagi,” kata Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar belum lama ini.
 
Harus diakui, kata dia, bahwa sawit berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Namun kebakaran hutan juga merugikan negara dan dunia internasional,” ujarnya. Sebelumnya, kalangan pengusaha memprotes isi pasal 23 ayat 3a yang menyatakan ekosistem gambut dinyatakan rusak apabila level air gambut lebih dari 0,4 meter dari permukaan. Dengan aturan tersebut, batas muka air gambut akan merendam akar pohon perkebunan dan hutan tanaman karena panjang akar biasanya melebihi satu meter. Akibatnya, pohon yang ditanam akan mati.
 
Di sisi lain, lanjut Siti Nurbaya, sejumlah pengamat dan aktivis lingkungan menginginkan jarak air dari permukaan lahan gambut yaitu 0,2 meter. Tujuannya agar kebakaran hutan dapat tercegah mengingat karakter lahan gambut yang basah. Oleh karena itu, agar revisi PP diterima semua kalangan, kementerian akan melakukan sejumlah pengkajian oleh para pakar serta mengajak berdialog bagi semua pihak terkait lahan gambut dan sawit. “Termasuk dunia usaha juga kita ajak bicara,” ujarnya.
 
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Teguh Surya mengungkapkan, menteri harus memastikan PP Gambut direvisi demi memperkuat komitmen presiden dalam melindungi gambut secara total. Ia menekan kan agar revisi dilakukan atas landasan keilmuan dibarengi unsur kehati-hatian. Sebab, para kelompok ahlipun terbelah. Ada kelompok yang telah terpengaruh dunia usaha.
 
“Pada dasarnya, pengelolaan hutan tanaman industri dan sawit di lahan gambut jelas tindakan bunuh diri ekosistem,” tuturnya. Alasannya, pengelolaan gambut mesti dengan tanaman yang beradaptasi dengan gambut. Makanya, tak boleh ada kanalisasi yang mengeringkan lahan.
 
Aturan peralihan dan penutupan lahan, lanjut dia, masih menjadi batu ganjalan dalam melindungi ekosistem gambut. Makanya, dalam menegaskan komitmen, Menteri perlu segera mereview perizinan, terutama di lahan gambut sebagaimana dijanjikan presiden.
 
Pengawasan
 
Menyikapi rencana revisi PP No 71/2014 tentang kebijakan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut, pakar gambut dari Universitas Riau, Haris Gunawan, menyatakan, PP tersebut sudah ideal, khususnya aturan soal batas air 0,4 meter di bawah permukaan lahan gambut. “Bahkan idealnya 0,2 meter,” katanya, akhir pekan lalu.
 
Tugas pemerintah saat ini justru pemerintah harus lebih menaruh perhatian terhadap pengimplementasian dan pembangunan sistem pengawasan. Berdasarkan pengalaman, sebut dia, Indonesia kerap punya aturan tapi lemah pengawasan.
 
Contohnya, larangan pengelolaan lahan gambut tiga meter ke atas hanya sebatas kebijakan yang tertulis di atas kertas. Praktiknya di daerah, banyak pengusahaan di lahan gambut melanggarnya.
 
Dijelaskannya, saat ini Sumatra memiliki 7 juta hektare lahan gambut, dan sekitar 2,7 juta hingga 3 juta hektare telah dimanfaatkan untuk hutan tanaman industri (HTI), seperti akasia dan sawit. Sisanya, sekitar 4 juta hektare masih alamiah.
 
Ia mengatakan, untuk meningkatkan produktivitas dan pemanfaatan lahan gambut, pengusaha tidak harus mengubah karakteristik lahan gambut yang basah dan alami lantas berujung kebakaran hutan. Seharusnya, mereka dapat memasukkan unsur teknologi dengan prinsip meningkatkan produksi tanpa harus memperluas HTI. “Misal, HTI 3 juta hektare, value jadi 7 juta hektare, tapi lahan tetap 3 juta hektare,” ujarnya.
 
Peneliti Gambut dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Azwar Maas mengatakan, batas air 0,4 meter di bawah permukaan lahan gambut sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2014 mesti direvisi menjadi lebih rendah lagi, yakni 0,2 meter. Sebab, batas air yang diatur sekarang masih kerap menyulut kebakaran serta membuat lahan menjadi kering ketika kemarau.
 
“Terlebih di perkebunan sawit yang umumnya batas air di bawah permukaan lahan melebihi 0,4 meter,” ujar Azwar Maas. Batas air perlu diturunkan, kata dia, agar ke bakaran hutan di Riau yang telah terjadi selama 17 tahun dapat berhenti.
 
Dijelaskannya, membahas lahan gambut harus pula membicarakan hukum air yang mengalir dari atas ke bawah. Ketika kubah gambut ditoreh oleh kanal-kanal seenaknya, maka air akan lepas. Maka, mempertahankan kubah gambut sangat penting agar sumber air terpenuhi sepanjang tahun, terhindar dari banjir maupun kekeringan.