Embun pagi mulai kering di ujung semak, dan suara burung bersahutan memantul di Cagar Alam Manggis Gadungan. Kawasan ini, meski kecil dalam bentang alam Kediri, menyimpan hutan yang begitu rapat, teduh, dan bernilai ekologis tinggi. Namun di balik ketenangan itu, ada ancaman yang tumbuh pelan, diam-diam, tetapi pasti, sampah padat yang mulai merayap dari pemukiman menuju tepi kawasan.
Ancaman tersebut menjadi salah satu isu paling dalam kegiatan Management Effectiveness Tracking Tool (METT) yang digelar 18 November 2025, ketika para pemangku kepentingan berkumpul di Balai Desa Manggis Gadungan. Mereka datang dari berbagai arah, mulai aparat desa, tokoh masyarakat, kelompok pengelola hutan, Bappeda, Dinas Lingkungan Hidup, Perhutani, hingga pengelola dari BBKSDA Jawa Timur. Suasana pertemuan berubah menjadi sebuah forum yang jujur, tempat semua pihak mengakui, menimbang, dan merumuskan kembali masa depan kawasan konservasi ini.
Sampah padat sudah mulai terlihat di titik-titik rawan kawasan, menjadi alarm yang memecah keheningan. Bappeda Kabupaten Kediri menguatkan pernyataan tersebut, menyoroti bagaimana sampah rumah tangga, yang terlihat biasa pada skala kecil, kini bergerak menjadi tekanan ekologis pada skala lanskap.
Isu yang terdengar sederhana itu sesungguhnya membawa konsekuensi jauh lebih besar, satwa liar dapat berubah perilaku karena terbiasa mendekati permukiman. Vegetasi bawah terganggu oleh residu anorganik yang tidak terurai; dan air permukaan di zona pemulihan kawasan perlahan terkontaminasi.
Di ruang pertemuan sederhana itu, ancaman sampah padat bukan lagi sekadar “masalah kebersihan”. Ia menjadi masalah konservasi, masalah tata lingkungan, dan masalah kesadaran manusia.
Namun harapan justru datang dari tempat yang paling dekat dengan kawasan, yaitu masyarakat penyangga. Empat kelompok masyarakat dari desa Manggis, Satak, Wonorejo, dan Asmorobangun menyampaikan bagaimana mereka terlibat dalam berbagai tahapan pengelolaan, mulai dari penyusunan blok, RPJP, sosialisasi tata batas, hingga penilaian METT. Mereka juga menceritakan dampak positif program pemberdayaan dari BBKSDA Jawa Timur yang membantu menguatkan kapasitas mereka.
Ada yang menceritakan bagaimana pelatihan pemetaan partisipatif membuka mata warga tentang batas-batas ekologis yang harus dijaga. Ada pula yang menuturkan bagaimana kegiatan restorasi, meski sering terkendala rendahnya kesadaran menjaga bibit, tetap menjadi proses belajar kolektif.
Dinas Lingkungan Hidup menambahkan perspektif penting, bahwa konservasi bukan hanya menggantungkan diri pada kawasan, tetapi pada manusia yang hidup di sekelilingnya. Mereka mengangkat persoalan klasik, kurangnya kepedulian masyarakat merawat bibit reboisasi. Namun mereka juga memaparkan solusi: edukasi, penyadartahuan lapangan, dan kerja bersama antara lembaga konservasi dan desa.
Pada penghujung kegiatan, fasilitator memandu sesi penilaian METT dengan lembar demi lembar pertanyaan yang menguji kesiapan, sistem, proses, hingga dampak pengelolaan kawasan. Dan dari proses panjang itu, satu angka muncul sebagai simpulan, 69,70%, sebuah skor yang menandakan pengelolaan “cukup efektif”, dengan kekuatan pada kondisi ekologis (Outcomes 88,89%) namun masih menyimpan ruang perbaikan pada aspek tata kelola, proses, dan dukungan sumber daya.
Namun angka hanyalah representasi. Di baliknya ada hutan yang harus dijaga, suara masyarakat yang harus didengar, dan ancaman sampah yang tidak boleh dibiarkan. Cagar Alam Manggis Gadungan hari itu seperti berbicara kepada semua yang hadir, bahwa yang terberat dari menjaga alam bukanlah melawan perusak bersenjata, tetapi melawan kebiasaan kecil yang dianggap sepele, plastik yang dibuang, organik yang tidak dikelola, dan kesadaran yang belum tumbuh sepenuhnya.
Dan dari forum itulah, satu tekad kembali menguat, bahwa masa depan hutan tidak hanya bergantung pada petugas di dalam kawasan, tetapi pada manusia yang hidup di pinggir hutannya. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah 1 Madiun – Balai Besar KSDA Jawa Timur