Para pengelola kawasan bersama akademisi, aparat, pemerintah daerah, komunitas masyarakat, dan pelaku usaha berkumpul di Camping Ground Baung Canyon (25/11/2025). Untuk menakar satu pertanyaan penting, mengapa pengelolaan Gunung Baung selama ini mampu berjalan efektif?
Penilaian menggunakan Management Effectiveness Tracking Tool (METT Ver. 4) mengonfirmasi efektivitas tersebut dengan skor 67,48%, melewati ambang batas 67% untuk kategori “efektif”. Namun angka ini bukan sekadar capaian administratif, ia adalah cermin dari kekuatan dasar yang menopang kawasan ini: perencanaan yang terstruktur, proses pengelolaan yang berjalan konsisten, dan keterlibatan masyarakat yang semakin menguat.
Kegiatan dibuka oleh Kepala Bidang KSDA Wilayah III Jember, kemudian dilanjutkan dengan penilaian yang dipandu fasilitator. Kolaborasi lintas unsur tampak nyata: Institut Pertanian Malang, KPH Pasuruan, Polsek dan Koramil Purwosari, Pemerintah Kecamatan Purwosari–Purwodadi, tiga desa sekitar, kelompok MPA, KTH, HIPPAM, serta mitra usaha dari sektor wisata dan agroforestri. Semua hadir dengan komitmen yang sama, menjaga Gunung Baung tetap lestari.
Skor tertinggi muncul pada aspek Planning, mencapai 80,95%. Ini menunjukkan bahwa Gunung Baung memiliki fondasi pengelolaan yang kuat: rencana pengelolaan tersusun jelas, rencana kerja rutin berjalan, desain kawasan diperbaharui, hingga status legal yang memberi kepastian. Pengelolaan yang dimulai dari perencanaan matang memberi ruang bagi setiap langkah konservasi untuk berjalan lebih terarah.
Tidak berhenti di sana, aspek Proses juga mencatat skor tinggi 77,19%. Artinya, perencanaan yang kuat benar-benar terimplementasi. Kegiatan monitoring, edukasi, pengelolaan nilai budaya dan alami, kolaborasi dengan masyarakat, pengawasan lapangan, hingga penegakan aturan berjalan secara konsisten. Di lapangan, kelompok masyarakat peduli api, kelompok tani hutan, pengelola wisata, dan aparat desa berperan menjaga kawasan melalui berbagai kegiatan rutin.
Gunung Baung menunjukkan bahwa efektivitas konservasi tidak hanya ditentukan oleh dokumen dan anggaran, tetapi juga oleh keterlibatan aktif para pemangku kepentingan di sekitar kawasan. Kehadiran tiga MPA, HIPPAM, desa penyangga, lembaga usaha, hingga perguruan tinggi menjadi bukti bahwa pengelolaan kawasan ini sudah dibangun di atas prinsip kolaboratif.
Dalam konteks konservasi modern, partisipasi masyarakat bukan lagi pelengkap, melainkan inti. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha inilah yang menjadikan Gunung Baung tetap terjaga dari sisi pengamanan, pemanfaatan jasa lingkungan, hingga edukasi dan wisata.
Meski efektif, METT juga mencatat ruang perbaikan. Aspek Input mendapat skor 44,44%, menandakan perlunya penguatan pada peralatan, fasilitas, kapasitas SDM, serta kepastian anggaran pengelolaan. Pada aspek Output yang hanya mencapai 46,67%, fasilitas pengunjung, konektivitas, serta manfaat bagi masyarakat perlu terus ditingkatkan agar pengelolaan semakin berdampak.
Namun kekurangan ini bukan hambatan, melainkan peta jalan. Dengan akar perencanaan yang sudah kuat dan proses pengelolaan yang konsisten, pembenahan dapat dilakukan dengan arah yang jelas.
Hasil METT ini memberi pesan optimistis bahwa Gunung Baung berada di jalur yang benar. Efektivitas pengelolaan bukanlah kebetulan, tetapi buah dari perencanaan jangka panjang, pengelolaan yang berjalan penuh komitmen, serta kehadiran masyarakat yang turut menjaga hutan, sungai, dan tebing-tebingnya.
Dari Gunung Baung, terlihat satu hal yang pasti, konservasi hanya bisa berhasil bila dilakukan bersama. Dan Gunung Baung telah membuktikannya. (dna)
Sumber: Bidang KSDA Wilayah 3 Jember – Balai Besar KSDA Jawa Timur