Penyelamatan Trenggiling Saat Tengah Malam di Mojokerto

Share

Pada malam yang sunyi, ketika kebanyakan warga terlelap, seekor mamalia kecil bersisik muncul di pekarangan rumah seorang warga Desa Sidoharjo, Kecamatan Gedeg, Kabupaten Mojokerto. Waktu menunjukkan pukul 00.30 WIB, Sabtu, 3 Agustus 2025. Tanpa suara, ia mengendap melewati rerumputan, sesekali berhenti dan menggulung tubuhnya yang keras seperti zirah, satu-satunya pertahanannya dari dunia yang semakin tak ramah.

Makhluk itu adalah Trenggiling Jawa (Manis javanica), salah satu spesies mamalia paling terancam punah di dunia. Dalam banyak kasus, penemuan seperti ini berakhir tragis, satwa dijadikan komoditas, diperjualbelikan secara diam-diam, kadang hanya untuk sebuah kesenangan makan malam atau sebotol ramuan mitos.

Tapi malam itu berbeda. Pemilik rumah, Muhammad Bagus Wijayanto, memilih jalur yang tak biasa, menghubungi petugas BKSDA. Bukan karena takut, tapi karena sadar, bahwa satwa itu bukan miliknya, dan hidupnya tak layak dikorbankan demi keingintahuan atau keuntungan.

Satu hari setelah penemuan, 4 Agustus 2025, petugas dari Resort Konservasi Wilayah 09 Mojokerto, yang berada di bawah koordinasi Seksi KSDA Wilayah III Surabaya, tiba di lokasi. Mereka terdiri dari tenaga fungsional Pengendali Ekosistem Hutan dan Polisi Kehutanan, mendatangi rumah sederhana itu dengan membawa satu maksud, menyelamatkan, bukan menyita.

Trenggiling itu diserahkan dalam keadaan hidup dan sehat. Tak ada luka, tak ada tanda-tanda kekerasan. Hanya tubuh mungil yang menggulung erat, seolah belum percaya bahwa manusia di sekitarnya tidak akan menyakitinya. Ia dimasukkan ke kandang khusus dan dibawa menuju Wildlife Rescue Unit (WRU) Kantor BBKSDA Jawa Timur di Sidoarjo untuk penanganan lanjutan.

Trenggiling adalah simbol dari bagaimana manusia memperlakukan alam. Ia bukan predator, tak mengancam siapa pun, dan tak punya cara melawan selain bersembunyi dalam keheningan dan kerasnya sisik kehidupan. Namun justru karena kelemahannya itu, ia menjadi incaran. Sisiknya diyakini sebagai bahan pengobatan, meski tak ada dasar ilmiah. Dagingnya dianggap eksotik. Sebagian lainnya diburu karena dianggap membawa keberuntungan.

Kini, trenggiling itu berada di tempat aman. Tapi ribuan trenggiling lain di hutan-hutan Jawa mungkin tak seberuntung itu.

Ketika Hati Lebih Kuat dari Harga
Kisah ini bukan hanya soal penyerahan satwa. Ia tentang keberanian untuk menolak godaan. Tentang seorang warga yang memilih untuk tidak menyakiti, ketika bisa saja ia menutup pintu dan membiarkan pasar gelap berbicara. Tentang harapan bahwa di antara berita tentang perburuan dan perdagangan ilegal, masih ada cerita baik yang datang dari pinggir kota.

Penyerahan sukarela dari masyarakat seperti ini menjadi bagian penting dalam upaya konservasi negara. Keterlibatan aktif warga memperkuat sistem pengawasan lapangan yang terbatas, sekaligus menunjukkan bahwa kesadaran konservasi dapat tumbuh dari rumah, bukan hanya dari hutan.

Penyerahan seekor trenggiling di Mojokerto bukanlah akhir. Ini awal dari kesadaran yang tumbuh perlahan. Karena konservasi tak melulu soal aturan atau operasi penindakan. Ia hidup ketika satu orang, di satu malam, memilih untuk tidak merugikan satu makhluk kecil yang nyaris punah.

Dan itu, adalah bentuk perlindungan paling tulus yang bisa diberikan oleh manusia kepada alamnya. (dna)

Sumber: Bidang KSDA Wilayah 2 Gresik – Balai Besar KSDA Jawa Timur