Pengendali Ekosistem Hutan, Garda Terdepan Konservasi yang Menyatukan Ilmu, Alam, dan Bangsa

Share

Di sebuah ruang pertemuan di jantung Ibu Kota, 150 insan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) hadir secara langsung, disaksikan 695 pasang mata lainnya dari berbagai penjuru Indonesia melalui layar daring. Bukan sekadar pertemuan tahunan, Sarasehan PEH 2025 menjadi panggung tempat para penjaga garda terdepan konservasi menyatukan visi, menautkan pengalaman, dan merumuskan masa depan profesi yang kini diakui sebagai salah satu tiang penyangga kelestarian ekosistem negeri.

Mereka datang membawa cerita, tentang jejak kaki Komodo di tanah Flores, tentang penyu yang kembali ke pantai Sangalaki untuk bertelur di bawah ancaman pencurian, tentang jalur peredaran satwa liar yang terus berevolusi. Hingga tentang pohon Taksus di kaki Gunung Kerinci yang menyimpan senyawa antikanker dan anti-aging.

Inilah Sarasehan Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Indonesia yang digelah di Jakarta, 12 Agustus 2025. Sebuah pertemuan yang mengusung “Sinergi PEH Lintas Generasi, Aksi Bersama Lestarikan Alam”. Namun, pertemuan ini juga mengangkat cermin, tantangan terbesar PEH justru sering datang dari dalam diri sendiri, rasa jenuh, lelah, dan keraguan yang dapat meruntuhkan semangat.

Mengurai Peta Tantangan, Dari Jabatan hingga Jejak di Lapangan
Data resmi memotret skala peran PEH: 4.000 personel, menjadikannya jabatan fungsional terbesar di Kementerian Kehutanan. Namun, jenjang karier mereka masih terkunci di tingkat Madya, sementara saudara terdekat Polisi Kehutanan dan Penyuluh Kehutanan telah menembus Jenjang Utama.

Penyelarasan struktur jabatan menjadi fokus. Regulasi baru menuntut PEH tak hanya ahli di bidang teknis ekologi, tetapi juga mumpuni dalam manajemen, komunikasi, dan inovasi. Kenaikan jabatan tak lagi sekadar soal angka kredit, tapi komitmen untuk siap ditempatkan di manapun demi konservasi.

“PEH dulu disebut semi-scientist, tapi kini mereka harus menjadi scientist, manajer, sekaligus diplomat konservasi.” tegas Amy Nurwanty, Sekretaris Ditjen KSDAE dalam sambutannya mewakili Direktur Jenderal KSDAE.

Konservasi yang Menembus Batas
Flores dan Komodo, di luar kawasan konservasi, kamera jebak mengungkap individu Komodo yang bertahan di habitat terpisah. PEH tak hanya memantau, tetapi juga mengedukasi warga, memetakan jalur mangsa, dan meredam konflik satwa–manusia.

Indonesia Timur dan Perdagangan Satwa Liar, Jalur laut yang dulu ramai kini mulai surut peredarannya, berkat kolaborasi multipihak dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) untuk memetakan pola peredaran TSL.

Pulau Sangalaki, Penyu, dan Pasir yang Menyimpan Kehidupan. Patroli malam, relokasi telur ke hatchery, dan pemberdayaan pemuda kampung menjadi benteng terakhir dari laju penurunan populasi.

Taksus Sumatera dan Harapan dari Kulit Pohon, dari hutan TN Kerinci Seblat, penelitian bersama BRIN mengungkap potensi obat kanker dan kosmetik berbasis anti-aging. Inovasi ini menanti tahap komersialisasi.

IPEHINDO, Rumah Besar Profesi
Sarasehan juga mengukuhkan pentingnya Ikatan Profesi PEH Indonesia (IPEHINDO) sebagai wadah kolaborasi dan transfer pengetahuan. Dengan delapan DPW provinsi yang sudah terbentuk, targetnya adalah seluruh provinsi memiliki kepengurusan aktif. Bahkan, lahir kesepakatan baru, 2 Juli akan menjadi Hari PEH Nasional, memperingati diresmikannya jabatan ini pada 2003.

Menatap Masa Depan, Lokal Menggema Global
Kiprah PEH kini menembus batas negara, dari pengelolaan cagar biosfer UNESCO hingga partisipasi dalam forum global Ramsar Site dan World Heritage Site. Filosofinya jelas, PEH lokal, dampak global.

Sarasehan PEH 2025 ditutup dengan pesan yang menggetarkan ruang “Konservasi bukan hanya tentang menyelamatkan satwa atau hutan. Ini tentang menyelamatkan masa depan kita semua. Tantangan terberat bukan di luar sana, tapi di dalam diri kita masing-masing.”

Sumber: Fajar Dwi Nur Aji, Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda pada Balai Besar KSDA Jawa Timur